Belum ada UU tugas perbantuan atau rule TNI dalam urusan berbagai macam hal OMSP
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendorong pemerintah dan DPR membahas Rancangan Undang-Undang Perbantuan TNI dibandingkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam menangani terorisme.

Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar di Jakarta, Sabtu, mengatakan UU Perbantuan TNI akan memberikan batas yang jelas dalam operasi militer selain perang (OMSP), seperti menangani terorisme.

Baca juga: ELSAM catat 27 kasus kekerasan kepada aktivis HAM lingkungan pada 2019

"Dengan begitu (UU Perbantuan), lebih jelas pelibatan TNI baik itu dalam penanganan terorisme, atau sekarang dalam geliat penanganan COVID-19. Belum ada UU tugas perbantuan atau rule TNI dalam urusan berbagai macam hal OMSP," tuturnya.

Menurut dia, dalam Perpres itu kewenangan TNI dalam pelibatan menangani aksi terorisme terlalu luas dan terkesan melampaui Undang-undang yang ada di atasnya.

"Saran saya draf ini diperiksa kembali dalam aspek civil power, tetapi harus dalam konteks perbantuan saja. Jadi, menurut saya ditarik kembali, dibahas ulang, didorong UU Perbantuan," katanya.

Baca juga: Istana jawab mundurnya kebebasan berekspresi dalam kepemimpinan Jokowi

Wahyudi tak menampik adanya mandat reformasi untuk revisi UU No 5 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun draf Perpres yang telah diserahkan ke DPR awal Mei 2020 lalu disebutkannya tak sesuai dengan peran TNI, khususnya dalam hal perbantuan.

"Itu Memang ada mandat, tapi Peraturan Presiden (Perpres) ini kalau dibaca materi terlalu luas, tidak semata-mata mengakomodasi perbantuan," jelas Wahyudi.

Baca juga: Akademisi: Tugas TNI tangani terorisme bersifat perbantuan

Ia menekankan meski pemberantasan terorisme itu termasuk OMSP, namun karena penanganan teroris termasuk dalam aspek penegakan hukum, maka pelibatan TNI sangat terbatas dan mekanismenya perbantuan.

"Kalau dilhat Perpres ini sangat spesififik karena berbicara segala aspek. Jadi ada banyak ketidaktemuan, apa yang diatur dengan UU Terorisme dan UU TNI dengan Perpres ini," ucapnya.

Kekhawatiran lainnya adalah belum adanya aspek pertanggngjawaban tanpa adanya revisi UU Peradilan Militer.

"Apabila ada praktik yang menyalahi, apakah melalui instutusi peradilan militer atau sipil," katanya mempertanyakan.

Baca juga: Heli MI-17 jatuh di Kendal, DPR minta TNI intensifkan investigasi

Wahyudi mengemukakan DPR seyogyanya membuka penbahasan RUU Perbantuan diiringi pengembalian Perpres tersebut atau merekomendasikan ke pemerintah untuk mencabutnya.

Dorongan lain, pentingnya membuat UU Perbantuan adalah untuk kepastian dalanlm situasi apa perbantuan penanganan terorisme ditetapkan. Terlebih setelah 20 tahun reformasi TNI, masih ada beberapa hal belum disahkan, seperti UU Perbantuan Militer dan UU Peradilan Militer.

Bila disahkan, tambah Wahyudi, hal itu menjadi flash back ketika kepolisian masih termasuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)

Baca juga: MPR hargai Prajurit TNI-Polri yang bekerja lampaui panggilan tugasnya

"Itu yang tidak diinginkan, jadi Ini yang jadi momentum penting melihat ke depan, soal reformasi militer seperti mundur ke belakang lagi. Sebelum reformasi. Mana wewenang TNI secara profesional, mana penegakan hukum," katanya.

"Kan sudah jelas diatur undang-undang, TNI tidak terlibat dalam hukum. TNI hanya semata-mata penegakan hukum di laut, baru dilibatkan TNI. Itu tugas militer di laut, terlebih wilayah di luar teritorial," ucap Wahyudi.

Baca juga: Panglima TNI memuji dua prajurit TNI-AL bantu warga terdampak COVID-19

 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020