TNI berpeluang dituduh sebagai pelanggar HAM sebagaimana yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Laksda TNI (Purnawirawan) Soleman B. Ponto menilai revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa menjadi solusi penolakan atas Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

"Revisi UU Terorisme akan membebaskan TNI dari kewajiban untuk membuat rancangan perpres yang isinya akan selalu bermasalah," kata Soleman B. Ponto dalam diskusi webinar bertajuk “Polemik Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme" yang diadakan Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, tanpa perpres pun TNI tetap dapat dilibatkan dalam atasi terorisme, yakni melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Baca juga: Hasil revisi komprehensif dalam RUU Terorisme

Soleman berpendapat bahwa kemunculan rancangan perpres yang telah dikirimkan pemerintah ke DPR awal Mei lalu tidak salah karena merupakan amanat dari UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

Sesuai dengan UU tersebut, kata dia, TNI berkewajiban untuk membuat rancangan perpres yang mengatur tentang tata cara TNI dalam mengatasi terorisme.

"Perpres di satu sisi merupakan perintah undang-undang maka TNI sebagai lembaga pemrakarsa wajib membuat rancangan perpres itu," ujarnya.

Di sisi lain, kemunculan rancangan perpres itu mendapat penolakan keras karena berpotensi akan melanggar HAM serta memberi tugas kepada TNI memberantas di luar kerangka criminal justice system.

Soleman menyebutkan tiga hal krusial dari rancangan perpres ini yang bisa membahayakan institusi TNI, yakni pertama, isi beleid itu mengatur tentang pelaksanaan operasi militer sesuai dengan amanat Ayat 3 Pasal 43I UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Ayat 3 Pasal 43I memang mengamanatkan pemerintah untuk membuat peraturan presiden jika ingin melibatkan TNI. Namun, pelibatan TNI jangan justru bertentangan dengan UU Tindak Pidana Terorisme.

"Nah, rancangan perpres itu justru bertentangan dengan Pasal 6 di UU yang sama. Pemberantasan terorisme harus memakai pendekatan penegakan hukum. Isi perpres itu justru di luar kerangka criminal justice system (sistem peradilan pidana)," katanya.

Baca juga: Pansus UU Terorisme bahas sinkronisasi pasal

Kedua, Soleman menyatakan sistem peradilan pidana yang berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bukan keahlian TNI sehingga berpotensi tabrakan dengan kewenangan Polri.

"Ini juga bertentangan dengan Ayat (1) dan ayat (2) Pasal 43I UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menghendaki adanya military operation (operasi militer)," katanya.

Hal ketiga, TNI tak punya keahlian dalam penegak hukum. Dalam hal ini, dia khawatir tidak ada penyelesaian hukum yang berlaku.

"TNI berpeluang dituduh sebagai pelanggar HAM sebagaimana yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Soleman.

Ia menyarankan frasa pada Ayat (3) Pasal 43I UU No. 5/2018 tentang Terorisme yang semula berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada Ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden." Frasa ini diganti dengan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada Ayat (1) dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Saya yakin polemik tidak akan selesai selama pasal itu tidak diubah," katanya menekankan.

Dalam kesempatan yang sama dia menjabarkan Pasal 43I UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyebutkan bahwa pembuatan perpres harus berkonsultasi dengan DPR.

"Maka, isi rancangan perpres itu perlu dikonsultasikan dengan DPR. Sekarang tergantung pada DPR apakah rancangan perpres itu akan diteruskan atau dibatalkan. Hal itu sangat tergantung pada DPR," ujarnya.

Baca juga: DPR-pemerintah temukan alternatif solusi frasa "motif politik" terorisme

Sementara itu, dosen Universitas Paramadina Shiskha Prabawaningtyas mengemukakan bahwa kemunculan Rancangan Perpres TNI itu tidak tepat di tengah pandemi COVID-19.

"Alih-alih mengirimkan rancangan perpres ke DPR, pemerintah seharusnya memikirkan kekosongan pada UU Pelibatan TNI dan peradilan militer," kata Shiskha Prabawaningtyas.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020