Jakarta (ANTARA) - Teori yang mengaitkan pandemi COVID-19 dengan jaringan internet generasi kelima atau 5G menimbulkan berbagai rumor dan teori konspirasi di tengah masyarakat.

Menanggapi hal itu, VP Technology Relations Smartfren, Munir Syahda, mengatakan bahwa berbagai rumor tentang 5G telah ada bahkan sebelum pandemi COVID-19.

Ia menjelaskan, secara teknis frekuensi 5G tersedia dalam berbagai tingkatan band, dan aman digunakan apabila dioperasikan secara terukur.

"Saya tidak bisa berkomentar soal isu, namun secara teknis, pada prinsipnya frekuensi 5G yang digunakan saat ini untuk sampai dengan tingkat user itu pilihannya masih ada beberapa band," ujar Munir dalam acara virtual TechTalk Smartfren, Rabu.

Munir menjelaskan frekuensi 5G dapat menggunakan band tinggi ataupun rendah, tergantung pada alokasi.

Secara umum, dari sisi ilmu frekuensi, lanjut Munir, semakin tinggi frekuensi akan berpengaruh terhadap lingkungan jika tidak terkendali.

Namun, apabila dibatasi dan terukur, menurut Munir, tidak ada masalah. Sebab, frekuensi tinggi sebenarnya telah digunakan pada radio microwave yang hingga saat ini tidak bermasalah karena terukur dan bisa dikendalikan.

Baca juga: Qualcomm dorong 5G luncurkan chipset untuk ponsel menengah

Baca juga: Kominfo: TV analog ambil banyak frekuensi untuk spektrum 5G


Tunda uji coba 5G

Munir mengatakan Smarftren menunda uji coba jaringan 5G, yang semula dijadwalkan pada April, karena pandemi COVID-19.

"Tahun 2020 ini sebenarnya kami akan trial kedua yang berhubungan dengan layanan pelanggan," ujar Munir.

Uji coba 5G terkendala pengiriman perangkat dari perusahaan China ZTE, karena hingga saat ini tidak memungkinkan untuk memasukkan perangkat untuk bisa digunakan di Indonesia.

Smartfren melakukan uji coba jaringan 5G di sektor industri pada Agustus 2019.

Operator seluler itu melakukan uji coba di pabrik pengolahan kelapa sawit di Marunda, Bekasi, milik Smart Tbk, yang masih satu grup dengan mereka.

Smartfren melakukan uji coba jaringan 5G untuk menggunakan frekuensi 28GHz milimeter wave. Salah satu hasil uji coba menunjukkan jaringan berada di kecepatan maksimum untuk mengunduh 8,7 gigabita per detik.

Baca juga: Implementasi 5G dapat percepat era "New Normal"

Baca juga: MediaTek umumkan chipset Dimensity 820 untuk 5G ultra-cepat


Tantangan 5G

Tantangan terbesar implementasi 5G, menurut Munir, ada pada infrastruktur yang kuat, lebih dari 3G dan 4G. Sebab, kecepatan berinternet tidak lagi dalam hitungan mbps, namun mencapai 1Gbps.

Pengaturan frekuensi 5G juga menjadi tantangan lain. Menurut Munir diperlukan alokasi frekuensi yang tepat, sehingga dibutuhkan studi yang mendalam.

Tantangan lainnya adalah nilai investasi. Sebab, menurut Munir, 5G pada prinsipnya bukan menggantikan 4G namun sebagai pelengkap dan pendamping.

"Terakhir, apakah itu layak digunakan pelanggan yang sifatnya nasional," kata Munir.

Artinya, daya beli kuota data pengguna juga perlu diperhatikan. Sebab, dengan kemampuan kecepatan 5G yang mencapai 1Gbps, menurut Munir, diperlukan setidaknya kuota data 100GB, sehingga perlu dipikirkan hingga tingkat user.

Implementasi 5G, menurut Munir, akan sangat berdampak pada industri untuk menjalankan Internet of Things (IoT).

"Kalau personal ada untungnya selama layak secara market kalau masyarakat mampu, tapi ini perlu diperhitungkan untuk harga paket data," ujar Munir.

Baca juga: Chadstone Cikarang hadirkan internet super cepat 5G

Baca juga: Huawei bangun BTS 5G di ketinggian 6.500 meter Everest

Baca juga: Youtube larang konten soal konspirasi palsu corona dan 5G

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020