Sepanjang tahun 2020, sedikitnya tujuh kasus perbudakan dialami oleh ABK asal Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Menyambut Hari Pelaut Sedunia yang dirayakan setiap 25 Juni, pengamat kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kemaritiman untuk Kemanusiaan Abdul Halim menginginkan aspek layanan ketenagakerjaan di sektor kemaritiman nasional sungguh-sungguh dibenahi.

"Gambaran nasib dan permasalahan utama yang dialami pelaut asal Indonesia, khususnya di sektor perikanan, adalah layanan sebagai warga negara yang masih belum maksimal, yang berimbas kepada munculnya pencari keuntungan," kata Abdul Halim ketika dihubungi Antara di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, dengan kualitas layanan ketenagakerjaan sektor kemaritiman yang belum dibenahi, maka para pelaut berpotensi diperdaya dengan beragam cara melalui jalur-jalur informal agar mereka mau bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing tanpa mengetahui hak dan kewajiban mereka secara rinci.

Hal tersebut, lanjutnya, dapat berakibat kepada potensi munculnya pelaut atau ABK yang mengalami tindak perbudakan atau bahkan bisa saja hingga kehilangan nyawa.

"Sepanjang tahun 2020, sedikitnya tujuh kasus perbudakan dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal penangkap China," kata Abdul Halim.

Terkait hal itu, ujar dia, langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperketat pendaftaran tenaga kerja di sektor penangkapan ikan di luar negeri, mendorong penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan dalam negeri, serta mengevaluasi kinerja layanan warga negara yang bekerja di sektor penangkapan ikan asing.

Sebelumnya, berbagai kasus terkait dugaan perdagangan orang serta kerja paksa yang menimpa anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia di kapal ikan asing sebenarnya merupakan fenomena puncak gunung es karena banyak dari kasus itu yang tidak terekspos.

"Kasus-kasus ini adalah puncak gunung es. Dalam catatan kami, tahun 2017 ada sekitar 1.200-an kasus yang kami tangani terkait dengan pelaut. Tahun 2018 juga sama sekitar 1.200-an, 2019 ada 1.095 kasus yang kami tangani," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Judha Nugraha dalam diskusi daring mengenai kejahatan pada industri perikanan tangkap yang digelar di Jakarta, Rabu (10/6).

Judha Nugraha mengingatkan bahwa dengan tereksposnya beberapa kasus di media sosial seperti pelarungan jenazah WNI di laut lepas oleh kapal ikan asing sangat mengusik rasa kemanusiaan melihat saudara sebangsa diperlakukan demikian.

Menurut dia, hal yang penting untuk dilakukan adalah melaksanakan pembenahan tata kelola migrasi yang merupakan jawaban agar awak kapal perikanan Indonesia dapat memperoleh perlindungan yang lebih baik.

Untuk itu, Judha menginginkan agar perlindungan sudah dilakukan sejak awal sejak dilakukannya perekrutan. Namun masalahnya, banyak awak kapal yang berangkat tidak melalui prosedur yang semestinya.

Pihak KBRI di berbagai negara sudah melakukan berbagai langkah yang semestinya seperti ketika ada ABK menghadapi kasus hukum di luar negeri, maka KBRI memberikan pendampingan.

Selain itu, ujar dia, Kementerian Luar Negeri juga telah melakukan repatriasi atau pemulangan banyak awak kapal ikan, serta melakukan berbagai diplomasi baik secara bilateral maupun hingga multilateral.



Baca juga: KKP ajukan dua opsi ke Kemenkomarves soal isu ABK di kapal asing

Baca juga: Menaker tegaskan komitmen pemerintah benahi pelindungan ABK

Baca juga: Pengamat: Poros Maritim Dunia harus dahulukan SDM kelautan perikanan

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020