Jakarta (ANTARA) - Partai Nasional Indonesia dibentuk oleh Presiden Soekarno bersama para sejumlah tokoh perjuangan kemerdekaan bangsa pada 1927 lalu.

Awalnya Partai Nasional Indonesia merupakan perserikatan, bernama Perserikatan Nasional Indonesia dengan Presiden Soekarno sebagai ketuanya.

Kemudian kongres pertama PNI mengambil salah satu keputusan penting, yakni mengganti perserikatan menjadi partai.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin mengatakan ada inspirasi penting yang dapat dipetik dari Partai Nasionalis Indonesia yang dibentuk oleh Presiden Soekarno tersebut.

Inspirasi itu adalah tentang konsep kebangsaan yang ditawarkan oleh partai dan para pendirinya bagi Bangsa Indonesia.

Konsep kebangsaannya berupa nasionalisme moderat, serta marhaenisme atau berpihak kepada rakyat kecil sebagai ideologi politik, dan hal itu begitu dibutuhkan bangsa belakangan ini.

Baca juga: Pengamat: Nasionalisme PNI patut diteladani parpol modern

Menurut Komaruddin, konsep kebangsaan PNI menjunjung rasa nasionalisme yang moderat, tidak ke kanan tidak ke kiri dan tidak ke barat tidak ke timur, seperti ajaran Soekarno non-blok, yakni ada di tengah-tengah, jadi tidak nasionalisme yang fanatik.

Konsep kebangsaan dengan nasionalisme moderat ini sangat dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia, terutama belakangan ini, karena Indonesia kehilangan sentuhan nasionalisme moderat tersebut.

Komaruddin menyebutkan sekarang ini orang sudah terdistorsi, terbagi-bagi, terpecah menjadi kubu-kubu, oleh karena itu pentingnya konsep kebangsaan, seperti yang ditawarkan PNI pada saat kemerdekaan dulu.

Indonesia butuh negarawan yang berdiri di tengah, dan itu menjadi simbol kebangsa an. Menurut Komaruddin, saat ini sulit menemukan itu, bahkan jika ada  orang baik pun justru diserang oleh buzzer-buzzer politik.

PNI dimasa lalu memiliki inti perjuangan, yakni mempersatukan bangsa untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan.

Kemudian, ideologi politik dari PNI, yakni marhaenisme atau berpihak pada rakyat kecil juga diperlukan sebagai inspirasi bagi Bangsa Indonesia, bahkan juga untuk saat sekarang ini.

Dia mengatakan bahwa konsep "wong cilik" itu penting, tapi konsep ini tidak boleh di klaim oleh pihak tertentu saja atau partai tertentu saja, karena setiap orang atau partai berhak untuk peduli terhadap rakyat kecil, karena persoalan ini semua elemen bangsa.


Baca juga: Puan dukung pembuatan film gelorakan semangat nasionalisme

Sejarah PNI

Buku karangan Fajriudin Muttaqin yang tercatat sebagai akademisi UIN Bandung dan Wahyu Iryana berjudul Sejarah Pergerakan Nasional menuliskan latar belakang PNI, yakni berawal pada masa sebelum kemerdekaan, adanya perasaan anti penjajah makin subur. Rakyat Indonesia kala itu menentang dan serta melawan penindasan dari Belanda.

Pemuda Indonesia bekas dari anggota-anggota Perhimpunan Indonesia mendirikan Partai Nasional Indonesia di tanah air yang asas dan tujuannya sama dengan Perhimpunan Indonesia, asas kebangsaan Indonesia dan bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Gagasan pembentukan PNI itu didukung oleh Presiden Soekarno, Bung Karno menekankan pentingnya pembentukan PNI sebagai partai untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta menganjurkan pendirian cabang-cabangnya di seluruh tanah air.

Partai Nasional Indonesia dibentuk pada 1927. Tujuan utama Partai Nasional Indonesia untuk mencapai kemerdekaan Indonesia atas asas percaya akan kekuatan dan kemampuan Bangsa Indonesia sendiri tanpa bantuan dari siapa atau pihak mana pun.

Untuk mencapai Indonesia merdeka, PNI tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda (non-koperasi). PNI tidak bersedia duduk atau ikut serta di dalam dewan-dewan yang dibentuk atau didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Contohnya dewan bentukan Belanda seperti Volksraad atau Dewan Rakyat, Gemeenteraden (dewan dewan Kabupaten).

Ketegasan Bung Karno dan pimpinan ternyata berdampak besar, pada 24 September 1929, empat orang pemimpin Partai Nasional Indonesia ditangkap oleh pemerintah Belanda berdasarkan alasan provokasi, bahwa pada awal 1930 PNI bermaksud mengadakan pemerontakan.

Keempat pemimpin itu adalah Presiden Soekarno, Maskun, Gatot Mangkuptaja, dan Supriadinata. Mereka dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan.

“Kalau satu pemimpin patah, ada dua atau tiga gantinya” kata Ir. Soekamo seperti yang dikutip oleh buku Sejarah Pergerakan Nasional tersebut.

Pada 1946 kembali dihidupkan dan mengikuti pemilihan umum pertama Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin PNI berhasil menjadi pemenang pemilu 1955.

PNI menjadi kuat dan memenangkan pemilu 1955 karena konsep kebangsaannya, ideologi politik marhaenisme-nya, namun satu lagi faktor penting yakni sosok besar dari Bung Karno.

"PNI dimasa lalu yang jaya dan menang pemilu yang jujur di kala itu menandakan sosok kepercayaan publik, rakyat Indonesia kepada Bung Karno sangat tinggi, termasuk kepada partainya," ucapnya,

Ir Soekarno dianggap memang bisa mempersatukan Indonesia, memerdekakan Indonesia, hal itu tentu dengan tidak menafikan banyak tokoh pendiri bangsa yang berpengaruh lainnya.

Menurut dia, figur pemimpin partainya itu menjadi penting di Indonesia, PNI besar karena sosok ketokohan Bung Karno, namun Sang Proklamator ini dalam tanda petik digusur oleh rezim yang baru, begitu pula partainya menjadi redup bahkan menjadi hilang.

Kehilangan sosok dari Bung Karno menyebabkan PNI Redup meski telah memenangkan pemilu 1955, kemudian hal lainnya yang juga bisa dianggap menjadi penyebab redupnya lanjut dia, karena seiring berjalannya waktu Bung Karno membentuk pemerintahan demokrasi terpimpin, yang menjadikan bung Karno menjadi presiden seumur hidup.

Setelah PNI, ideologi politik marhaenisme atau peduli terhadap "wong cilik" itu diadopsi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin oleh anak Bung Karno, Megawati Soekarno Putri.

Namun dia menegaskan bahwa peduli "wong cilik" bukan milik satu partai, seharusnya seluruh partai seperti itu, karena rakyat kecil persoalan semua elemen bangsa.

Baca juga: Pengamat: Sejumlah elite sedang bermain-main dengan nasionalisme

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020