Di Jepang, menjaga jarak menjadi bagian dari budaya dan kebiasaan karena tidak ada berpelukan dan mencium pipi saat bertemu sehingga tidak berpotensi menyebarkan COVID-19.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti yang juga guru besar di Universitas Kanazawa, Jepang Atsuro Tsutsumi mengemukakan bahwa budaya kepatuhan masyarakat Jepang dan penerapan untuk menghindari 3C, yakni  tempat tertutup (closed spaces), tempat ramai orang atau penuh sesak (crowded places) dan hal-hal yang menyebabkan kontak dekat (close-contact settings) menjadi kunci mengendalikan COVID-19.

"Meskipun tidak ada strategi yang mengikat secara hukum, tapi masyarakat Jepang serius mematuhi permintaan Pemerintah Jepang untuk tidak pergi ke kota dan tinggal di rumah," kata Tsutsumi dalam seminar virtual bertajuk "Managing COVID-19 Pandemic: Experiences from Japan and Lesson Learned for Indonesia" yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan bahwa di Jepang, dari 14 Januari 2020 hingga pukul 07.02 malam Waktu Musim Panas Eropa Tengah (Central European Summer Time/CEST) pada 23 Juli 2020, terkonfirmasi sebanyak 27.029 kasus positif COVID-19 dengan di antaranya 990 kematian.

Sementara di Indonesia, tercatat dari 2 Maret 2020 hingga pukul 07.02 malam CEST pada 23 Juli 2020, ada sebanyak 91.751 kasus positif COVID-19 dengan 4.459 kematian.

Angka itu, kata dia, menunjukkan kasus positif COVID-19 di Jepang sepertiga dari total kasus terkonfirmasi di Indonesia.

Tsutsumi mengungkapkan yang terjadi di Jepang dalam merespon munculnya COVID-19 bahwa pada Februari 2020 banyak negara tidak menerima pengunjung dari China tetapi Jepang tetap terbuka dan menerimanya.

Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta para negara anggota untuk memperkuat dan memperluas pengujian polymerase chain reaction (PCR) tetapi Jepang tidak melakukannya.

Ia menambahkan Jepang tidak memberlakukan "lockdown". Pada April 2020, Jepang menyatakan deklarasi keadaan darurat tapi itu hanya berupa permintaan yang kuat dan tanpa hukuman mengikat.

Namun, dengan strategi yang berbeda dari Selandia Baru dan Vietnam yang memberlakukan lockdown, Jepang dapat menahan penyebaran COVID-19 dengan jumlah kasus positif dan kematian akibat COVID-19 menjadi lebih kecil.

Menurut dia terdapat sejumlah hipotesa yang menyebabkan jumlah kematian akibat CVID-19 di Jepang lebih kecil dibanding sejumlah negara lain.

Hipotesa itu antara lain terdapat faktor X di Jepang yang mencegah warga di Jepang terinfeksi COVID-19. Di Jepang, menjaga jarak menjadi bagian dari budaya dan kebiasaan karena tidak ada berpelukan dan mencium pipi saat bertemu sehingga tidak berpotensi menyebarkan COVID-19.

Secara budaya, masyarakat Jepang merupakan orang yang higienis. Menggunakan masker telah dipraktikkan secara aktif sejak lama jauh sebelum pandemi COVID-19 merebak.

"Menggunakan masker bukanlah hal spesial untuk orang Jepang. Menggunakan masker sudah menjadi kebiasaan, mudah dan diterima di Jepang dan jika kita terkena demam, biasanya menggunakan masker. Hal ini dilakukan bahkan sebelum COVID-19," katanya.

Jepang juga menerapkan strategi menemukan dan intervensi klaster yang menjadi bagian dari pencegahan penyebaran COVID-19. Pemerintah Jepang menyadari dan menemukan tempat hiburan seperti karaoke yang di mana kerap dengan kerumunan sehingga di klaster seperti itu memiliki risiko penularan COVID-19 tinggi.

Pemerintah Jepang juga memberikan peringatan dini untuk menghindari 3C, yakni tempat tertutup (closed spaces), tempat ramai orang atau penuh sesak (crowded places) dan hal-hal yang menyebabkan kontak dekat (close-contact settings).

Bahkan masyarakat Jepang tetap diam di rumah tanpa perlu "lockdown".

Tsutsumi mengatakan banyak kasus positif COVID-19 di Jepang ditemukan di tempat hiburan malam dengan 3C.

Kini Jepang menghadapi gelombang kedua penyebaran COVID-19.

Menghadapi gelombang pertama COVID-19, Pemerintah Jepang keadaan darurat sehingga masyarakat tinggal di rumah dan tidak bepergian ke kota. Dengan begitu, jumlah kasus COVID-19 menurun secara drastis jumlah kasus "covid dramatically decrease" menurun drastis

Namun pada akhir Mei 2020, Pemerintah Jepang mencabut deklarasi dan berganti ke kehidupan normal baru sehingga secara bertahap jumlah kasusu positif COVID-19 meningkat, dan sekarang Jepang menghadapi gelombang kedua COVID-19.

"Sekang kami menghadapi gelombang kedua COVID-19," katanya.

Tsutsumi menuturkan tidak ada deklarasi keadaan darurat. Di sisi lain, perlunya menyeimbangkan kesehatan publik dan kegiatan ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya penanggulangan inklusif dan strategi pencegahan yang komprehensif dalam menghadapi gelombang kedua COVID-19.

Sementara itu, peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarifah Aini Dalimunthe menyatakan jika Pemerintah Jepang menyarankan untuk tidak bepergian tapi tetap tinggal di rumah dan mengurangi aktivitas sosial, maka rakyat Jepang akan melakukannya meskipun tanpa peraturan hukum yang mengikat.

"Budaya ini saya kira sangat membantu untuk menahan penyebarab COVID-19," kata Syarifah yang juga mahasiswa S3 di Universitas Nagoya di Jepang.

Namun, strategi yang dilakukan Jepang itu spesifik untuk masyarakat Jepang dan belum tentu cocok untuk semua masyarakat di dunia karena perbedaan budaya dan adat istiadat yang hidup di tiap masyarakat, demikian Syarifah Aini Dalimunthe.

Baca juga: Virus corona, Jepang tunda kedatangan tim Indonesia terkait Olimpiade

Baca juga: Jepang desak warga tidak kunjungi 73 negara dan wilayah

Baca juga: Jepang laporkan 107 kasus baru corona, tertinggi sejak 2 Mei

Baca juga: Perusahaan dan universitas Jepang mulai uji vaksin corona pada hewan

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020