... bahwa dunia telah mengalami beberapa kali pandemi, dimana pada 1918 saat Bapak Pramuka Indonesia Sultan Hamengku Buwono IX berusia enam tahun sudah ada pandemi flu.
Semarang (ANTARA) -
Sebanyak 25 juta anggota Pramuka yang tersebar di Indonesia berpotensi menjadi agen perubahan adaptasi kebiasaan baru dalam mengatasi pandemi COVID-19.

"Pramuka harus mampu membuat tren patuh protokol kesehatan misalnya mengenakan masker harus menjadi tren, itu perlu kolaborasi. Sementara yang sulit adalah mencuci tangan, memakai 'hand sanitizer' juga dapat menjadi tren. Termasuk juga menjaga jarak yang aman. Bagaimana 'ngeriung' atau 'cangkrukan' yang aman," kata Kepala UNICEF Perwakilan Jawa Arie Rukmantara pada acara gelar wicara secara daring bertajuk "Gerakan Pramuka Dulu, Kini dan Tantangan Adaptasi Kebiasaan Baru" di  Semarang, Senin.

Terkait dengan pandemi COVID-19, ia mengatakan bahwa dunia telah mengalami beberapa kali pandemi, dimana pada 1918, saat Bapak Pramuka Indonesia Sultan Hamengku Buwono IX berusia enam tahun sudah ada pandemi flu.

"Kala itu penduduk harus tinggal di rumah, dilarang berkeliaran di luar rumah bila tidak perlu, dan dilarang masuk ke lokasi pandemi. Indonesia mampu mengatasi pandemi flu itu," ujarnya.
Baca juga: Presiden: Jiwa dan karakter pramuka dibutuhkan saat pandemi
Baca juga: Anies berharap Pramuka punya andil saat pandemi COVID-19

Kemudian pada 2000 ada pandemi SARS, pada 2009 ada flu Meksiko (H1N1), disusul flu unta pada 2012 dan pada 2019 ada pandemi COVID-19.

"Kini Pramuka harus berperan mengatasi pandemi kali ini," ujarnya.

Menurut dia, dengan jumlah yang mencapai 25 juta anggota Pramuka, Indonesia harus menjadi pengurus Organisasi Pramuka Dunia atau The World Organization of the Scout Movement (WOSM) sebab jumlah itu sama dengan 25 persen jumlah pramuka di dunia yang beranggotakan 100 juta anggota Pramuka.

Arie juga mendorong agar anggota Pramuka Indonesia mencatat segala kegiatan pengabdian yang mereka lakukan sebab dari data yang diperoleh, jam pengabdian Indonesia hanya sedikit yakni hanya 1.500 jam per bulan, sedangkan Pramuka India mencapai 1,5 juta jam, dan Pramuka Amerika Serikat 10 juta jam per bulan.

Ketua Kwartir Daerah Pramuka Provinsi Jawa Tengah Siti Atikoh Supriyanti menambahkan bahwa Pramuka selalu hadir di garis depan ketika masyarakat membutuhkan.

"Ketika ada pandemi COVID-19, para anggota Pramuka ikut memberi penjelasan soal bahaya COVID-19. Mereka juga membagikan masker dan 'hand sanitizer', di sini Pramuka memiliki semangat kebangsaan maupun pendidikan karakter. Selain itu juga mempunyai kecakapan hidup," katanya.
Baca juga: Khofifah: Pramuka harus lantang ajak warga disiplin protokol kesehatan

Dengan jumlah anggota yang banyak di Indonesia tersebut, maka Pramuka dapat menjadi pelopor membuat kegiatan yang positif.

"Pandemi ini sudah berlangsung selama enam bulan. Pramuka harus mampu menciptakan ruang bahagia untuk diri sendiri maupun rekan-rekannya," ujarnya.

Dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, lanjut dia, anggota Pramuka bisa membuat video pendek, "ngevlog" soal protokol kesehatan hingga menolong bisnis tetangganya.

Oleh sebab itulah, meski kegiatan Pramuka yang biasanya berkumpul dalam jumlah banyak seperti berkemah sampai jambore ditiadakan karena pandemi COVID-19.

"Namun dengan menciptakan kegiatan positif yang berguna, Pramuka tetap bisa berkarya," katanya.
Baca juga: Buwas: Pramuka peduli COVID-19 adalah wujud semangat tanggulangi wabah

 

Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020