Jakarta (ANTARA) - Pembentukan induk gabungan (holding) industri pertahanan dalam negeri diharapkan bisa membuat industri pertahanan nasional lebih efisien dan berdaya saing sehingga tidak saja bisa memasok kebutuhan dalam negeri.

Demikian salah satu benang merah webinar yang digelar Jakarta Defence Studies dengan tema “Tantangan Perang Generasi Keenam Versus Kemandirian Industri Pertahanan” di Jakarta, Rabu (26/8).

Webinar itu menghadirkan pemateri mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, Laksamana Madya TNI (Purnawirawan) Agus Setiadji, Direktur Utama PT Len Industri, Zakky Gamal Yasin, Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad, Ade Bagdja, dan Ketua Harian Persatuan Industri Pertahanan Swasta Nasional, Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Jan Pieter Ate.

Sejauh ini terdapat sembilan BUMN yang berkarya di sektor pertahanan, di antaranya PT Len Industri, PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL, dan PT Dahana. Sedangkan di sektor swasta nasional, terdapat 176 perusahaan yang bergiat di sektor ini sehingga keduanya (BUMN dan BUMS) merupakan aset nasional yang harus dikembangkan bersama menuju visi kemandirian industri pertahanan nasional dan produk turunannya.

Baca juga: Indonesia bangun kemandirian industri pertahanan

Yasin menyatakan, industri pertahanan pelat merah sedang membuat rencana induk agar bisa tembus di urutan 50 besar perusahaan industri pertahanan dunia.

Target lain yang harus tercapai pada 2024, kata dia, membuat kontribusi industri pertahanan nasional bisa membuat produk dengan komponen domestik mencapai 50 persen.

Untuk mewujudkan itu semua, kata dia, industri pertahanan BUMN harus bersinergi dan berada dalam satu kelompok untuk memperkuat finansial dan mengintegrasikan rantai pasokan dan ekosistem.

"Ekosistem harus kerja sama semua yang ada di Indonesia, termasuk dengan BUMS. Ini yang kita bangun menjadi kekuatan industri pertahanan nasional. Ini peta jalan 2020-2024, ini program unggulan, kita inisiasi dan target kami sampaikan agar bisa kita capai," kata dia.

Baca juga: Produsen alutsista dalam negeri J-Forces incar pasar Filipina

Menurut dia, pihaknya sedang dalam proses membangun konsolidasi dan sinkronisasi untuk memperkuat industri pertahanan supaya memiliki daya saing dan bisa mandiri.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah investasi ganda di antara BUMN di sektor pertahanan, karena industri pertahanan bersifat padat modal, padat teknologi, dengan pasar yang sangat sempit-tertentu dan tingkat perkembangan teknologinya yang sangat pesat.

"Investasi peralatan akan diatur sedemikian rupa, jangan sampai Len berinvestasi, di tempat lain PT DI, Pindad, melakukan hal sama, ke depan akan diintegrasikan hal tersebut," kata dia.

Kata dia, dengan pendirian induk usaha ini maka industri pertahanan bisa meningkatkan kualitas SDM dan melakukan penilaian terhadap talenta perusahaan. Ujung dari semua itu nanti industri pertahanan saling terintegrasi dan menjadi BUMN yang kuat untuk mendukung pertahanan negara dan perekonomian nasional.

"Jangan sampai industri pertahanan 'cakar-cakaran', bertengkar satu dengan lainnya, BUMN dan BUMS memperebutkan beberapa hal yang sama. Harus ada yang diproritaskan, tentunya tidak itu-itu saja, karena itu perlu rencana strategis perlu diwujudkan," kata dia.

Adapun Bagdja menyatakan, PT Pindad sedang mewujudkan produk pesanan khusus dari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yaitu kendaraan taktis bernama Maung, sebanyak 500 unit. Untuk saat ini, pesanan sejumlah itu sangatlah banyak walau kapasitas perusahaan yang berpusat di Bandung itu ada di angka 1.000 unit untuk produk semacam itu.

Untuk memenuhi pesanan TNI AL, kata dia, perusahaan itu juga akan segera diluncurkan. "Kendaraan tempur berkonsep Tank Boat Antasena APC-30, ada variasi tank boat rudal dan tank boat kaliber 105 mm," kata dia.

Baca juga: MPR minta pemerintah majukan industri pertahanan nasional

Sedangkan Setiadji mengomentari rencana Prabowo membeli pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas dari Angkatan Udara Austria.

Ia mengatakan, pendapatnya ini ia berikan dalam kerangka ilmiah yang tidak berkaitan dengan kebijakan.

"Keputusan entah membeli sesuatu alutsista baru dengan teknologi tertentu ataupun alustsita bekas, diakibatkan kebutuhan mutlak dan segera. Saya yakin menteri pertahanan punya dasar kuat, misal segera untuk membeli alutsista," kata dia, yang baru saja meluncurkan buku 'Ekonomi Pertahanan Menghadapi Perang Generasi Keenam'.

Pada sisi lain dia menyinggung belanja militer yang saat ini menjadi efek gentar sebagai bentuk kekuatan pertahanan yang berfungsi sebagai daya penggetar. Sedangkan strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran.

Ia mengatakan, strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan punya efek gentar. Alhasil, kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatu negara untuk menghindari dan memengaruhi perilaku negara lain.

"Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, kekerasan harus diantisipasi dan dihindari lewat diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagai daya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil, apabila kekuatan tidak digunakan," kata dia.

Kritik diberikan Ate tentang langkah Prabowo yang berencana membeli alutsista bekas. Mengakuisisi peralatan perang bekas sudah lama terjadi, di antaranya 39 kapal bekas Angkatan Laut Jerman pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, F-16 Block 25 bekas yang kemudian diretrofit menjadi F-16 Block 52ID atau tank Leopard-2 buatan Jerman alih pesanan pada kepemimpinan Presiden Susilo Yudhoyono.

Baca juga: Ini peta ancaman maritim Indonesia menurut Basilio Araujo

Ada alasan non teknis, finansial, politis, dan lain-lain yang melatari pembelian-pembelian peralatan bekas pakai itu.

Menurut Ate, jika pemerintah tetap menempuh kebijakan lebih memprioritaskan membeli mesin perang bekas maka pertahanan Indonesia semakin tertinggal.

Ia memberi ilustrasi pembelian Eurofighter Typhoon yang diproduksi belasan tahun lalu, dan di negara pemakai sudah tidak dioperasikan lagi namun malah digadang-gadang akan digunakan untuk memperkuat TNI AU.

Jika hal itu terjadi maka kekuatan TNI bisa dipertanyakan. "Indonesia kok beli bekas terus? Beli teknologi yang baru, supaya industri pertahanan kita itu bisa catch up. Jadi kita bicara kita generasi keenam, (teknologi) stealth, big data. Musuhmu itu nanti bukan lawan barang bekas, tapi datang bawa teknologi terbaru," kata Ate, yang pernah menjadi pejabat teras di Kementerian Pertahanan dan menempuh pendidikan sekolah staf dan komando di Australia.

Ate juga menyunggung tentang konsep Minimum Essential Force (MEF) yang harus diganti karena tidak relevan lagi. Menurut dia, MEF merupakan konsep pertahanan yang tidak merepresentasikan Indonesia sebagai bangsa besar.

Menurut dia, konsep MEF dengan rencana strategis 2010-2014 dan 2015-2019 menghasilkan pemenuhan fisik baru tercapai 63,19 persen dan kesiapan peralatan perang hanya 58,37 persen. Ia menyebut, angka itu menunjukkan ada kesenjangan kesiapan pemenuhan dan penggunaan alutsita TNI mencapai 41 persen.

"Sampai sekarang MEF belum memenuhi kebutuhan kita. Kita negara G-20. Tinggalkan MEF, kita susun kembali pertahanan negara besar. Nah begitu dong," kata Ate.

Baca juga: Kementerian Pertahanan gelar pameran industri pertahanan swasta

Baca juga: DPR: Industri pertahanan swasta harus dilibatkan dalam KKIP

Baca juga: Industri pertahanan swasta nasional tampil pada Indo Defence 2018


Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020