Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang kini masih berlangsung di seluruh dunia, tak terkecuali di Tanah Air, yang berdampak multidimensi.

Namun, di tengah krisis yang terjadi, seperti yang menjadi "sunnatullah" atau kehendak dan ketetapan-ketetapan Allah SWT yang berlaku di alam semesta, yakni di setiap ada kesulitan selalu ada kemudahan atau jalan keluar, yakni dalam konteks keseimbangan.

Kondisi ini pula yang terjadi saat ini, di banyak kawasan di Indonesia, baik di perdesaan maupun perkotaan.

Tatkala ada sebagian masyarakat mengalami kondisi kesulitan, muncul ide dan bahkan sudah menjadi gerakan untuk mencari solusinya, salah satunya terkait ketahanan pangan.

Di kawasan perkotaan dengan lahan terbatas upaya bercocok tanam, budi daya perikanan, kini juga sudah diterapkan, termasuk di kawasan perumahan-perumahan dengan lahan minimalis.

Upaya itu, dalam bahasa yang lebih akademik barangkali dikenal dengan urban farming (pertanian perkotaan), dan ada pula yang menyebut urban agriculture.

Menurut Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam http://repository.ipb.ac.id:8080/handle/123456789/100916 disebutkan bahwa urban farming atau pertanian perkotaan merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan di kawasan perkotaan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.

Sumber daya dan hasil pangan dimanfaatkan dan didapatkan secara lokal di sekitar kawasan dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara mandiri.

Sedangkan Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa (P4TKTK dan PLB) Kemendikbud Abu Khaer dalam kegiatan "Training on Urban Agriculture for Special Education Teachers" di Bandung pada 2019 menyatakan konsep itu bisa diterjemahkan sebagai pemanfaatan lahan yang sempit untuk bercocok tanam di daerah perkotaan.

Pelatihan ini digagas bersama Kemendikbud dengan Sekretariat Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO Secr), Biology Tropical (SEAMEO BIOTROP), Southeast Asian Ministers of Education Organization Open Learning Center (SEAMOLEC), dan Center for Development and Empowerment of Teachers and Education Personnel (CDETEP).

Menurut Abu Khaer kegiatan urban agriculture yang berarti bercocok tanam di lingkungan rumah perkotaan, merupakan konsep memindahkan pertanian konvensional ke pertanian perkotaan.

Ia menjelaskan perbedaannya terletak pada pelaku dan media tanamnya, yakni jika pertanian konvensional lebih berorientasi pada hasil produksi, maka urban agriculture lebih pada karakter pelakunya, yakni masyarakat perkotaan.

Kini, kata dia, urban agriculture telah menjadi gaya hidup karena semakin tinggi kesadaran masyarakat urban untuk menjalani gaya hidup sehat.

Baca juga: Petani Ibu Kota di lahan terbatas

Baca juga: Urban farming diminati warga Surabaya saat pandemi COVID-19



Program BUDIMAN

Salah satu yang mempraktikkan gerakan ketahanan pangan itu, adalah warga di RT02/RW13 Perumahan Griya Melati, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat.

"Kami punya Program Budi Daya Ikan Mandiri (BUDIMAN), sebagai solusi ketahanan pangan warga di saat pandemi COVID-19 dengan bercocok tanam dan beternak ikan di lahan terbatas," kata Ketua RT02/RW13 perumahan itu Emil Rachman.

Selain solusi ketahanan pangan warga, pemanfaatan lahan kosong dan terbatas itu, dengan bercocok tanam sayuran, beternak ikan lele di dalam wadah ember yang sudah dirancang sesuai standar tanpa bau, juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekompakan warga, dan juga meningkatkan pendapatan warga.
Budi daya ikan lele di dalam wadah ember yang sudah dirancang sesuai standar dan tanpa bau dalam Program Program Budi Daya Ikan Mandiri (BUDIMAN) untuk ketahanan pangan di masa pandemi COVID-19 di RT02/RW13 Perumahan Griya Melati, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Jabar. (FOTO ANTARA/HO-Wahyu F Riva)


Manfaat berbagi dari program tersebut sudah nyata, salah satunya untuk panen sayuran kangkung, selain untuk warga RT02 sendiri, sebagian diberikan ke RT lainnya.

"Kalau aturan kami, kangkung ini sebenarnya bebas saja. Siapa saja boleh panen, termasuk misalnya ada petugas kebersihan kompos di RT kami, asisten rumah tangga, atau satpam. Semua boleh memetik dan menanennya. Itu sudah kami sepakati bersama. Jadi tidak secara khusus harus izin atau yang punya embernya itu," katanya.

BUDIMAN itu, menurut Emil Rachman, sebenarnya adalah salah satu bagian saja dari program holistik di perumahan itu, yakni Program Sehati Anyaman (Sehat Bersih Tertib dan Aman).

Salah satu warga perumahan itu, Wahyu F Riva menyebut program berbagi itu semacam infak dan sedekah terbuka, karena siapa saja bisa memanen.

Bahkan, menurut Direktur Semesta Energi itu, untuk infak dan sedekah ada program pendukung, seperti Program KEJABAR (Kencreng Jumat Berkah), di mana dananya untuk warga kalau ada musibah sakit, melahirkan, atau juga dampak dari COVID-19.

Selain itu, juga ada Program Bank Sampah yang diberikan ke petugas kompos dengan anggaran disesuaikan dengan hasil penjualan sampah, Program Infak dari WARGA.NET (Warung Tetangga Internet), yakni diberikan Rp1.000 per transaksi untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi Balita di posyandu setempat.

Melalui program tersebut, lahan kosong menjadi bermanfaat untuk warga dan terlihat asri, kebutuhan pangan warga jadi terjamin, mencegah stunting (kekerdilan anak), kebersamaan menjadi erat pada saat pemberian pakan dan jadwal menguras air, warga menjadi produktif, dan hasil panen BUDIMAN dapat menghasilkan produk yang dapat dijual dan disedekahkan.

Baca juga: Pertanian pekarangan jaga ketahanan pangan keluarga di era pandemi

Baca juga: Bertanam dinilai jadi solusi penghasilan di tengah pandemi



Perlu utuh

Meski program bercocok tanam seperti itu di perkotaan menjadi gerakan yang positif, namun menurut dosen Universitas Cokroaminoto Makassar Dr Muhammad Yusuf, SPi, M.Si memang masih ada beberapa hal yang masih sangat lemah.
Dosen Universitas Cokroaminoto Makassar Dr Muhammad Yusuf, SPi, M.Si saat berbicara dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB. (FOTO ANTARA/HO-dok pribadi)


Ia melihat momentum pandemi COVID-19 semacam itu di perumahan-perumahan perkotaan belum semuanya termanfaatkan dengan baik, terutama kegiatan yang bisa digerakkan secara simultan dan bersama-sama.

"Namun demikian momentum ini masih ada dan masih dapat dioptimalkan," kata pengampu mata kuliah Konservasi dan Ekowisata serta Pembangunan dan Pencemaran Lingkungan di Universitas Cokroaminoto itu.

Menurut dia, bila melihat tujuan dan semangat yang dibangun kurang lebih sama dengan program urban farming kepala daerah dan beberapa perumahan lain, di mana idenya juga muncul karena pandemi COVID-19.

Ketidakutuhan di tataran konsep pada program semacam itu, misalnya kalau di sebuah komunitas perumahan hanya membagi-bagikankan bibit tanpa melibatkan secara langsung maka warga sebagian cuek dan sebagian menerima apa adanya.

Contohnya, warga dan pengurus serta tokoh-tokoh masyarakat tidak dilibatkan sehingga terkesan hanya ide dan kerja sepihak.

"Padahal sebenarnya dapat dioptimalkan dengan mendorong kegiatan tersebut menjadi kegiatan warga bersama," kata doktor lulusan Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB pada 2016 itu.

Soal kebelumutuhan program semacam itu, juga disepakati oleh Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKT) Ayip Said Abdullah, terkait program semacam itu, yang juga dilaksanakan di Perumahan Laladon Baru Residence (LBR) Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jabar.

Saat ini di Perumahan LBR dilaksanakan kegiatan budi daya cabai dan tomat dengan membagikan bibit dua komoditas sayuran itu kepada warga.

Namun, diakuinya bahwa apa yang sedang dilakukan di LBR itu tetap merupakan bagian dari gerakan urban farming.

"Memang belum seutuhnya sebagai sebuah aktivitas urban farming," katanya.

Dalam banyak pendapat, urban farming terkait dengan praktik budi daya, proses dan distribusi pangan di area urban. Umumnya, dalam urban farming mendekatkan pada prinsip efisiensi dan putaran energi dari rumah-kebun-rumah.

Selain itu, urban farming juga umum dilakukan dengan mengintegrasikan dengan ternak skala kecil, akuakultur, budi daya lebah dan hortikultur.

Meski memang belum utuh, kata dia, ke depan harusnya memang dilengkapi dengan pengelolaan limbah rumah tangga sebagai sumber pupuk sehingga dihasilkan produk yang sehat.

Selain itu, juga perlu digagas diversifikasi dan integrasi kegiatan budi daya di pot dengan akuakultur, ternak ikan skala kecil dan pengelolaan sampah organik.

Dalam jangka panjang tentu saja program ini tidak hanya bisa diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan keluarga namun juga bisa menjadi sumber pendapatan dan tabungan keluarga.*

Baca juga: Indef nilai "urban farming" akan berperan penting pascapandemi COVID

Baca juga: Pengendalian inflasi di Balikpapan andalkan Program Urban Farming

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020