Jakarta (ANTARA) - Para tenaga kesehatan menjadi salah satu sosok yang mengalami keletihan mental atau burnout di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Lalu bagaimana rekomendasi untuk mengurangi risiko mereka terkena gejala burnout?

Ketua Tim Peneliti dari Program Studi MKK FKUI, Dr. dr. Dewi S Soemarko menyarankan tenaga kesehatan harus tahu apakah pada kondisi saat ini terjadi burnout atau tidak.

"Kita perlu paham apa gejalanya. Kadang kita karena sibuk kerja tidak sadar mengalami burnout. Jadi perlu saling mendukung antar tenaga kesehatan," ujar dia dalam konferensi virtual FKUI, Jumat.

Baca juga: Kenali letih mental di masa pandemi COVID-19, apa sebabnya?

Baca juga: Para dokter dan menteri mengheningkan cipta doakan nakes yang gugur


Burnout suatu sindroma yang diakibatkan respon kronik teradap stressor atau konflik di tempat kerja dan penyakit ini termasuk ke dalam diagnosis klinis.

Kondisi ini bisa dikenali dari gejalanya yakni keletihan emosi, kehilangan empati dan hilangnya rasa percaya diri. Keletihan emosi ditandai adanya perasaan sangat lelah sehingga tidak mau melakukan apapun. Sementara kehilangan empati ditandai tidak ingin ikut serta mengambil keputusan apapun.

"Kehilangan empati, jadi terserah saja. Ini menurut kami agak sedikit berbahaya. Lalu hilang rasa percaya diri. Bisa-bisa dia merasa banyak ragunya menyebabkan penurunan performa," kata Dewi.

Di sisi lain, perlu adanya sarana dan prasarana yang memadai terutama untuk penanganan COVID-19 di fasilitas kesehatan dan pengaturan jadwal kerja untuk para tenaga kesehatan.

"Pengaturan jadwal kerja untuk tenaga kesehatan sangat penting karena ini secara tidak langsung berpengaruh pada kesehatan jiwa para tenaga kesehatan," tutur Dewi.

Baca juga: Bebaskan stres akibat COVID-19 dalam peti mati dikeliingi zombie

Baca juga: Cara tangkal kalut saat "melahap" informasi seputar COVID-19


Dukungan psikososial di masa pandemi COVID-19 ini juga menjadi penting bagi tenaga medis, salah satunya dalam bentuk pendampingan psikologis.

Sementara itu, perhimpunan profesi kesehatan juga perlu mengambil bagian di sini yakni memberikan edukasi terkait gejala burnout, memberikan supporting group untuk anggota mereka dan membantu konseling psikologis.

"Untuk pemerintah, kalau bisa kita punya peta tenaga medis. Tujuannya, untuk deteksi dini, begitu Anda masuk gejala tingkat sedang berarti Anda harus segera ditolong. Jangan sampai masuk tingkat berat. Kita mengharapkannya pemerintah bisa memfasiltasi layanan konseling psikologis terutama untuk para tenaga kesehatan," kata Dewi.

Rekomendasi ini didasarkan pada survei yang dilakukan Dewi dan tim dari program studi Magister Kedokteran Kerja (MKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 2020 pada 1461 orang tenaga kesehatan di seluruh propinsi Indonesia.

Mereka menemukan, sebanyak 82 persen partisipan mengalami burnout tingkat sedang, 1 persen berat dan 17 persen tingkat burnout ringan.

"Faktor jenis pekerjaan dan bagaimana bekerja menangani COVID-19 berhubungan dengan gejala burnout dan tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19 harus mengenai gejala burnout, harus saling tolong menolong supaya kita bisa menangani masalah ini," demikian pesan Dewi.

Baca juga: Erick Thohir: 1,5 juta tenaga medis harus dapat vaksin duluan

Baca juga: Satgas COVID-19: Tenaga medis pahlawan kita

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020