Jakarta (ANTARA) - "Rajungan ini menjadi potensi Indonesia untuk diangkat. Ini branding Indonesia," kata Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Sri Yanti Wibisana.

Pernyataan tentang rajungan itu disampaikannya saat dialog dengan pimpinan "mini plant" rajungan Al-Amien, H Kandar di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, pada pekan terakhir September 2019.

"Mini plant" adalah unit pengolahan ikan (UPI) rajungan skala kecil

Saat itu, ia bersama Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) dan Badan Pembangunan PBB (UNDP) berkolaborasi memberikan dukungan dalam program konservasi bagi rajungan (portunus pelagicus).

Menurut Sri Yanti Wibisana rajungan menjadi potensi besar secara nasional untuk dikembangkan menjadi produk unggulan Indonesia yang dikenal dunia.

"Jadi setiap yang mengonsumsi rajungan akan ingat Indonesia sebagai negara yang memiliki rajungan dengan kualitas yang bagus," katanya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan Indonesia didominasi oleh nilai ekspor lima komoditas utama, yaitu udang, tuna-tongkol-cakalang, rajungan-kepiting, cumi-sotong-gurita dan rumput laut.

Pada 2017, nilai ekspor rajungan dan kepiting menempati urutan ke tiga terbesar setelah udang dan tuna-tongkol-cakalang dengan nilai mencapai 152.739.729 Dolar AS, berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS (BPS) 2018, yang diolah 2019.

Rajungan dan kepiting berasal dari hasil perikanan tangkap dan perikanan budi daya, di mana volume ekspor rajungan dan kepiting Indonesia didominasi oleh hasil perikanan tangkap (65 persen) dan sisanya dari hasil kegiatan budi daya (35 persen).

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Agus Suherman pada Januari 2020 merujuk pada data sementara BPS 2019 mencatat nilai ekspor rajungan, termasuk kepiting, mencapai 393 juta Dolar AS atau Rp5,35 triliun, di mana angka tersebut merupakan hasil penjualan rajungan sebanyak 25,9 ribu ton.

Amerika Serikat (AS) masih menjadi pasar terbesar untuk ekspor komoditas rajungan dari Indonesia, di mana produk yang diekspor didominasi dengan produk olahan dalam kemasan kedap udara atau kaleng.

Hanya saja, menurut Agus Suherman, pangsa pasar rajungan tidak hanya di AS, namun juga Hong Kong, China, Malaysia, Jepang, Singapura, Prancis, hingga Inggris, dan permintaan produk sejenis diperkirakan masih akan terus bertambah.


Terdampak COVID-19

Serangan COVID-19 yang menjadi pandemi dan berdampak pada hampir semua sektor, tidak terelakkan juga berpengaruh pada kelautan dan perikanan, khususnya perikanan rajungan.

Lantas, bagaimana itu mungkin terjadi?

Produk akhir dari rajungan, utamanya berbentuk pasteurized crabmeat, dalam bentuk kaleng ataupun kemasan lainnya.

Produk rajungan dari Indonesia, terutama adalah produk ekspor dengan negara tujuan didominasi oleh AS (sekitar 85 persen) dari total ekspor produk rajungan.

COVID-19 yang juga menghantam AS, berdampak pada pengurangan pembelian dari buyer, termasuk dari Indonesia.

Dalam hal ini, perusahaan pengolah rajungan di Indonesia juga melakukan pengurangan produksi yang berdampak pada produksi di rantai pasok yang lebih rendah.

Kondisi ini juga berdampak pada harga rajungan di nelayan yang mengalami penurunan tajam.

Akibatnya, nelayan rajungan masih terus melaut karena itu merupakan satu-satunya sumber pendapatan mereka, meskipun ada pula nelayan yang tidak melaut.
Pakar kelautan dan perikanan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Hawis Madduppa. (FOTO ANTARA/dok.pribadi)

Toko "Capit Biru"

Menyikapi kondisi akibat dampak COVID-19 pada nelayan rajungan, Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) didukung oleh Marine Stewardship Council (MSC) berusaha untuk membantu nelayan melalui proyek Community Fisheries Stewardship sejak Juli 2020.

Pakar kelautan dan perikanan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Hawis Madduppa yang juga Direktur Eksekutif APRI menjelaskan bahwa proyek Community Fisheries Stewardship itu melibatkan kelompok nelayan yang dipilih oleh APRI, di mana kelompok nelayan terpilih adalah Kelompok Usaha Bersama (KUB) Berkah Capit Biru, yang berlokasi di Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur.

Nama "Capit Biru" ini agaknya merujuk pada rajungan yang berwarna biru. Bahkan, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan rajungan dari spesies "Portunus pelagicus" sebagai blue swimming crab.

Melalui proyek ini, KUB Berkah Capit Biru menggagas untuk membuat toko nelayan yang dikelola secara mandiri oleh kelompok bernama "Toko Nelayan Capit Biru".

Toko nelayan yang dibangun di samping lokasi pendaratan nelayan itu menjual berbagai bahan keperluan nelayan untuk melaut, termasuk jaring, solar, umpan, dan lainnya.

Baca juga: APRI bantu ketelusuran rantai pasok perikanan bagi nelayan rajungan

Dari sisi nelayan secara umum, toko itu memberikan kemudahan bagi nelayan guna mendapatkan kebutuhan mereka untuk melaut, khususnya di masa pandemi COVID-19.

Di masa pandemi ini, setiap orang berusaha untuk mengurangi perjalanan mereka guna berbelanja di tempat yang jauh.

Dari sisi KUB Berkah Capit Biru, toko nelayan itu merupakan alternatif pendapatan untuk kelompok mereka yang akan membantu nelayan dapat bertahan di kondisi pandemi.

Baca juga: KKP genjot ekspor rajungan

Toko Nelayan Capit Biru yang telah selesai dibangun dan telah mulai beroperasi itu mulai membantu nelayan sekitar yang dibuktikan dengan selalu terjual habisnya beberapa barang, khususnya solar dan umpan.

Kehadiran toko nelayan ini diharapkan dapat terus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dalam penyediaan bahan untuk keperluan melaut dan juga sebagai alternatif pendapatan bagi KUB Berkah Capit Biru untuk mendukung mata pencaharian mereka, khususnya di kondisi pandemi ini.
Pertemuan Komite Pengelolaan Data (Data Management Committee) rajungan secara daring yang digagas APRI pada Selasa (15/9) 2020 secara daring di Jawa Timur dengan mengundang pihak terkait.

APRI sendiri pada Selasa (15/9) 2020 mengadakan pertemuan Komite Pengelolaan Data (Data Management Committee) rajungan secara daring di Jawa Timur dengan mengundang pihak terkait.

Baca juga: KKP kembangkan teknologi pembenihan komoditas rajungan berkelanjutan

Para pihak itu, di antaranya Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur, DKP Kabupaten Pamekasan, DKP Kabupaten Sumenep, DKP Kabupaten Gresik, Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya, Universitas Brawijaya, Universitas Trunojoyo Madura, perusahaan anggota APRI, pemilik "mini plant", "community officer" dan enumerator APRI di Jatim, serta para finalis "3rd APRI Youth Innovation".

Dalam pertemuan daring itu, Hawis Madduppa mengemukakan salah satu fokus APRI dalam program perbaikan perikanan (fishery improvement project/FIP) adalah mendukung program penilaian dan peningkatan stok rajungan (stock assessment) yang telah dilakukan APRI di beberapa lokasi di Indonesia, salah satunya adalah di Provinsi Jatim.

"Sehingga co-management memberikan dampak perubahan perilaku ke arah positif bagi nelayan dan rantai pasok rajungan," kata Hawis Madduppa.

Dipaparkan pula hasil perkembangan FIP dan kajian stok rajungan di Jatim Tahun 2016-2020, termasuk sosialisasi hasil telusur produksi daging rajungan Jatim dan kegiatan co-management (pengelolaan kolaboratif berbasis masyarakat) di Pamekasan.

Kegiatan co-management yang dilakukan APRI selama ini dinilai mampu memberikan dampak positif pada perilaku nelayan dan rantai pasok rajungan.

Kepala BKIPM Surabaya Muhlin S.Si, M.Si mengapresiasi langkah APRI dalam melakukan penelusuran daerah penghasil produk daging rajungan di Jatim, sehingga daerah potensial tersebut hendaknya dapat dikelola lebih aktif.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020