Jakarta (ANTARA) - Memasuki tahun 2018, kampanye menaikkan harga cukai rokok sudah digalang berbagai pihak. Hal tersebut dipicu oleh meningkatnya situasi kritis pengguna rokok di Indonesia, terlebih lagi keprihatinan pada meningkatnya konsumen pemula, yakni pangsa pasar menyasar anak dan remaja.

Pada tahun 2017 jumlah anak Indonesia, yakni usia 18 tahun ke bawah mencapai 83,9 juta jiwa. Menurut data World Health Organization (WHO), Indonesia menjadi negara nomor satu dengan jumlah perokok paling tinggi di dunia. Perokok di Indonesia mencapai 76,2 persen,

Kemudian, data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI (2018) menunjukkan angka perokok pada kelompok usia anak 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Angka ini jauh dari target RPJMN di tahun 2019 sebesar 5,4 persen (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014).

Dalam catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), peningkatan anak merokok persentase anak berumur 5-17 tahun yang merokok setiap hari dalam sebulan terakhir di tahun 2016 menurut jenis kelamin dan tipe daerah menggambarkan persentase anak yang merokok setiap hari lebih tinggi dibandingkan dengan yang merokok tidak setiap hari, yaitu 1,07 persen berbanding 0,29 persen.

Baca juga: Kak Seto: Industri rokok berstrategi giring anak jadi perokok baru

Kemudian, persentase anak laki-laki yang merokok setiap hari lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, yaitu 2,04 persen berbanding 0,06 persen. Dan persentase anak yang merokok setiap hari di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan, yaitu 1,24 persen berbanding 0,91 persen.

Pemerintah melakukan strategi untuk mengurangi jumlah perokok dengan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen. Kenaikan cukai rokok ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau.

Namun demikian, kenaikan cukai perlu diikuti oleh peningkatan sistem perlindungan anak di rumah dari keterpaparan asap rokok. Sebab data Global Youth Tobacco Survey (2019) menunjukkan 57,8 persen pelajar terpapar asap rokok di rumah.

Sebab, dampak buruk pada anak akibat keterpaparan asap rokok juga dapat mendorong anak mengalami stunting. Menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), dampak kejadian stunting tersebut juga berpengaruh terhadap intelegensi anak.

Tentu persoalan anak yang sudah terpapar asap rokok sesungguhnya bukan hanya diakibatkan oleh aktivitas merokok orang dewasa di dalam rumah, melainkan banyak aspek yang mempengaruhinya.

Baca juga: YLKI: Kenaikan jumlah perokok pemula didorong masifnya iklan rokok

Termasuk dalam psikologi perkembangan mereka mulai merokok dikatakan oleh Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya. (jurnal psikologi UGM, file:///Users/aimaryatisolihah/Downloads/7008-12244-1-PB.pdf).

Untuk itulah mandate secara yuridis bahwa hak anak harus dipenuhi, dilindungi, dihormati, dan dimajukan, harus terealisasi dengan baik. Sesuai UU 1945 pasal 28B ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Ironisnya, dalam data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA); 2018, persentase anak Indonesia mengalami defrivasi (ketidakterpenuhan) dalam dimensi pemenuhan haknya, salah satunya yakni Dimensi Kesehatan: tidak memperoleh jaminan kesehatan, Dimensi Makanan dan Nutrisi: konsumsi kalori kurang dari standar.

Dikatakan anak umur 0-4 tahun merupakan kelompok anak yang rawan terdeprivasi haknya,sebesar 76,50 persen dalam kategori cukup tinggi.(bahan paparan renstra KPPPA pada diskusi K/L, 2018).

Tentu saja, saat situasi tersebut bersamaan dengan situasi keterpaparan asap rokok yang diakibatkan oleh orang tua/keluarga yang aktif merokok, maka masalah pemenuhan hak kesehatan anak menjadi kian kompleks.

Dimensi lainnya, konsumsi terhadap rokok pada setiap keluarga sangat berpengaruh pada kesejahteraan keluarga itu sendiri yang berakibat pada kurangnya kesehatan, pendidikan, menurunnya ekonomi keluarga hingga rapuhnya mengelola konflik dan masalah.

Korelasi pola pembelanjaan rokok berpengaruh pada kesejahteraan keluarga bukanlah hisapan jempol belaka. Hasil penelitian PKJS-UI tahun 2018 menunjukkan konsumsi rokok erat kaitannya dengan kemiskinan, yaitu 1 persen kenaikan belanja rokok meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen pada rumah tangga.

Dengan demikian, strategi simplikasi cukai rokok yang saat ini dilakukan oleh pemerintah perlu beriringan dengan program yang berorientasi pada pengalihan konsumsi rokok pada kebutuhan keluarga dan edukasi masyarakat lintas sektor baik untuk keluarga, dunia pendidikan, termasuk anak sebagai subjek atas haknya dalam membangun kesadaran menjauhkan anak dari rokok dari rumah.

Baca juga: CISDI: Iklan dan harga murah strategi industri rokok sasar anak-anak

Pengalaman Baik

Salah satu inisiasi dilakukan oleh Fatayat NU (perempuan/pemudi NU usia 25 sampai 40 tahun) yakni dengan mengkampanyekan rumah tanpa asap rokok. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di rumah yang dilakukan oleh perempuan Fatayat NU seiring berjalannya waktu dapat menumbuhkan kesadaran bagi para perokok untuk berhenti merokok dengan pertimbangan kesehatan keluarga dan pemasukan ekonomi untuk keluarga.

Untuk itu, orang tua dan keluarga dituntut menjadi role model, memiliki kecakapan dan kemampuan dalam pengasuhan. Fatayat NU menjadi bagian aset bangsa yang akan menyuarakan, membangun budaya pengasuhan positif, dan melakukan edukasi dan advokasi bagi penguatan keluarga Indonesia.

Fatayat NU bersama PKJS-UI turut mendeklarasikan melalui penandatanganan dukungan kenaikan harga rokok pada tahun 2019 demi melindungi anak dan remaja, agar tidak dapat menjangkau rokok, serta melindungi mereka dari bahaya rokok.

Baca juga: IDAI: Dampak merokok sejak dini semakin parah

Hasil wawancara kepada beberapa perwakilan Fatayat NU menunjukkan dukungannya terhadap kenaikan harga rokok. Menurut mereka, harga rokok di Indonesia masih sangat terjangkau, dan dapat dibeli dengan mudah, ditambah rokok masih dijual secara ketengan/eceran per batang. Kader Fatayat NU berharap pemerintah menaikkan cukai rokok untuk membuat harga rokok tersebut menjadi semakin tidak terjangkau.

Hal ini bertujuan agar kantong belanja keluarga menjadi lebih sehat; artinya uang belanja yang sebelumnya digunakan untuk membeli rokok, dapat beralih digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pokok keluarga.

Hal ini juga diakui oleh suami dari kader Fatayat NU, yang menyatakan selama COVID-19, pengurangan konsumsi rokok diakuinya sangat berdampak dalam membantu istri di rumah dalam membeli kebutuhan sehari-hari.

Baca juga: Menteri PPPA dorong larangan promosi rokok untuk cegah perokok anak
Baca juga: Forum Anak diminta ajak teman sebayanya tidak terbujuk industri rokok
Baca juga: Anak keluarga perokok cenderung kekurangan asupan gizi, kata peneliti


*) Ai Maryati Solihah, M.Si adalah Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kader PP Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) bidang politik, hukum, dan advokasi

Copyright © ANTARA 2020