Jakarta (ANTARA) - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai praktik manipulasi laporan keuangan atau window dressing yang diakui terdakwa dalam pembacaan pledoi atas kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa menjadi bukti sekaligus niat jahat (mens rea) yang memberatkan terdakwa.

Isnur mengatakan majelis hakim dapat memasukkan fakta dan bukti seperti itu di persidangan sebagai faktor pemberat bagi vonis hukuman terhadap enam terdakwa kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Jiwasraya.

“Jika hasil penyidikan menemukan dugaan niat jahat (mens rea) hal itu bisa jadi tambahan untuk pemberat hukuman,” kata Isnur kepada wartawan, Kamis.

Baca juga: MAKI: Masalah Jiwasraya dimulai dari manipulasi laporan keuangan

Dalam kasus korupsi atau TPPU seperti Jiwasraya, Isnur menyebutkan para terdakwa juga dapat dituntut menggunakan beberapa pasal mulai dari perusakan barang bukti, pembuktian adanya niat jahat atau upaya menghalangi penyidikan.

Hal itu, kata dia, bisa dibebankan dalam pasal-pasal yang terpisah sehingga bisa jadi acuan hakim dalam melakukan putusan kasus yang merugikan negara hampir Rp16,8 triliun itu.

Sedangkan terkait vonis, kata Isnur, itu merupakan ranah majelis hakim yang tidak bisa diintervensi.

Namun, ia mengapresiasi ketika Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan yang cukup berat yakni mulai dari kurungan badan selama 18 tahun hingga seumur hidup kepada terdakwa.

“Soal vonis itu nanti ranah hakim. Namun melihat tuntutan (jaksa) sudah cukup baik,” ujar Isnur.

Baca juga: Kejagung periksa tujuh saksi dan tiga tersangka korupsi Jiwasraya

Sebagai pengingat, dalam nota pembelaan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018 Hary Prasetyo mengakui bahwa dirinya bersama mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim telah melakukan manipulasi laporan keuangan atau window dressing sejak pertama kali ia memimpin PT Jiwasraya pada 2008.

Praktik manipulasi laporan keuangan tersebut, kata Hary, dilakukan atas sepengetahuan jajaran Kementerian BUMN selaku pemegang saham dan pejabat Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) yang kini bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tujuannya agar manajemen Jiwasraya kala itu dapat melakukan reasuransi serta menerbitkan produk JS Proteksi Plan yang memiliki skema "ponzi". Produk itu yang akhirnya menjadikan Jiwasraya merugi seperti sekarang.

"Tentunya kondisi Jiwasraya yang sebenarnya diketahui oleh regulator, bahkan oleh BPK. Sangat tidak mudah menjaga laporan keuangan untuk tetap memiliki solvabilitas, meski sempat dilakukan revaluasi aset pada 2013. Apakah hal tersebut dikatakan semu? Betul, tapi tidak ada pilihan lain," kata Hary menjelaskan.

Di dalam kasus dugaan megakorupsi Jiwasraya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) diketahui telah menuntut Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018 Hendrisman Rahim hukuman penjara badan selama 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Baca juga: Pengamat: Pasar asuransi belum diimbangi edukasi yang memadai

Sementara Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018 Hary Prasetyo dituntut hukuman seumur hidup dan denda Rp1 miliar.

Adapun mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan dituntut hukuman selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar.

Sementara terdakwa dari pihak swasta yakni Joko Hartono Tirto dituntut dengan hukuman seumur hidup dan denda Rp1 miliar.

Sedangkan pembacaan tuntutan terhadap dua terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat harus ditunda karena keduanya mengaku terinfeksi COVID-19 menjelang persidangan.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020