anak malah menjadi obyek dan korban ujaran kebencian
Jakarta (ANTARA) - Aksi unjuk rasa penolakan Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang terjadi di sejumlah daerah pada pekan lalu berujung ricuh.

Aksi unjuk rasa tersebut melibatkan para buruh, mahasiswa hingga siswa. Setidaknya polisi menangkap lebih 1.192 demonstran pada aksi tersebut.

Sekitar 60 persen diantara yang ditangkap polisi tersebut masuk dalam kategori anak-anak yang masih berstatus pelajar. Mereka berumur di bawah 19 tahun.

Tak dipungkiri sepanjang aksi unjuk rasa yang terjadi, pelibatan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terus terjadi.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo menyesalkan aksi unjuk rasa yang melibatkan anak di bawah umur tersebut.

"Ini bertentangan dengan UU Perlindungan Anak sebab anak tidak boleh dilibatkan dalam aksi unjuk rasa," ujar Giwo akhir pekan lalu.

Kowani mengutuk keras dengan dilibatkannya anak-anak dalam aksi tersebut. Apalagi aksi tersebut dilakukan ditengah pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menekan penyebaran COVID-19.

"Begitu pandemi COVID-19, Kowani melakukan aksi, sosialisasi, advokasi, hingga santunan untuk menekan dampak pandemi COVID-19. Terus-menerus melakukan edukasi kepada kaum perempuan agar tidak terpuruk karena pandemi," tambah dia.

Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Kowani tersebut yang merupakan Ibu Bangsa buyar karena aksi unjuk rasa yang mengabaikan protokol kesehatan dengan berkerumun.

Pihaknya menghormati setiap kegiatan penyampaian aspirasi rakyat terkait UU Cipta kerja tersebut. Namun pihaknya menyesalkan upaya yang dilakukan banyak pihak dalam melibatkan anak dalam kegiatan penyampaian aspirasi politik di jalanan.

Anak-anak tersebut ikut demo dikarenakan ajakan melalui media sosial. Pelibatan anak dalam kegiatan politik termasuk penyampaian aspirasi politik di jalanan bertentangan dengan Pasal 15 UU Nomor 35/2014 yang merupakan perubahan atas UU 3/2002 tentang Perlindungan Anak.

Pada pasal 15 UU 35/2014 tersebut disebutkan setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwan yang mengandung kekerasan, pelibatan dalamm peperangan, dan kejahatan seksual.

"Namun yang terjadi anak malah menjadi obyek dan korban ujaran kebencian, serta pemelintiran kebencian yang bereda di media sosial dan aplikasi pesan."

Giwo menjelaskan anak-anak yang seharusnya terlindungi justru menjadi korban dari beredarnya informasi memecah belah para pemimpin bangsa, memecah belah anak bangsa apalagi jika informasi yang tersebar berisikan berita bohong.

Kowani juga menyesalkan upaya yang dilakukan para dosen maupun tenaga pendidik lainnya di media sosial, yang menjanjikan memberikan nilai A bagi mahasiswa yang mengikuti unjuk rasa menolak UU tersebut.

"Janji yang dilakukan tersebut ibarat api, ia memerankan diri sebagai minyak tanah yang dapat membakar api yang menyulut ke seluruh daerah," imbuh dia.

Seharusnya tenaga pendidik memberikan teladan yang baik dalam penyampaian aspirasi yang menjunjung tinggi aturan hukum, norma dan tidak anarkis. Akan tetapi aksi unjuk rasa tersebut berujung ricuh.

Nilai A bukan didapat dari aksi unjuk rasa, melainkan melalui jalan perkuliahan yakni 16 kali dalam satu semester.

"Tentunya ini bertentangan dengan kurikulum perguruan tinggi, jika dosen menjanjikan nilai A jika mengikuti aksi," jelas dia.

Kowani mengimbau para keluarga dan pendidik untuk menjaga situasi tetap kondusif dengan menjaga anak mereka tetap terlindungi. Apalagi ditengah pandemi COVID-19 yang masih terjadi di Tanah Air dan jangan sampai anak menjadi korban dari klaster demonstrasi.

Ketua Kowani, Heryana Hutabarat, mengatakan pada prinsipnya perempuan sebagai Ibu Bangsa turut prihatin dengan demo yang berujung ricuh tersebut.

Baca juga: KPAI bentuk tim lindungi anak terpapar unjuk rasa

Baca juga: UNICEF serukan perlindungan anak-anak dalam aksi unjuk rasa


Perlindungan Anak

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susianah Affandy, mengatakan aksi unjuk rasa pekan lalu tersebut diikuti anak mulai dari jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Kami menyesalkan upaya yang dilakukan media sosial yang bisa diakses semua kalangan, bukan hanya mahasiswa tetapi juga siswa," kata Susi.

Idealnya, dosen tidak perlu menjanjikan akan memberikan nilai A bagi mahasiswa yang ikut demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Seharusnya dosen memberikan teladan bagaimana penyampaian aspirasi yang baik.

Bujukan dosen di media sosial tersebut, dianggap sebagai tatanan nilai bahwa nilai A dapat diraih dengan turun ke jalanan.

Sebagian besar, siswa yang turun ke jalan juga tidak mengetahui tujuan aksi tersebut. Untuk itu, Susi yang juga pengurus Kowani itu meminta agar sekolah, tenaga pendidik maupun orang tua turut menjaga anaknya untuk tidak turun ke jalan.

Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri, menyayangkan keterlibatan siswa yang ikut dalam aksi unjuk rasa tersebut.

"Sebagian besar mereka tidak mengetahui, apa tujuan dari aksi itu," kata Jumeri.

Jumeri meminta agar siswa fokus mengikuti pendidikan jarak jauh (PJJ). Apalagi, pemerintah telah memberikan bantuan kuota internet untuk menunjang PJJ selama masa pandemi itu.

Sementara itu Dirjen Dikti Kemendikbud, Prof Nizam, dalam surat edaran yang beredar di media sosial meminta perguruan tinggi untuk menjaga ketenangan dan suasan pembelajaran yang kondusif di perguruann tinggi masing-masing dan tetap melakukan pembelajaran dari rumah.

Dalam surat edaran itu, Dirjen Dikti meminta agar mahasiswa tidak mengikuti aksi unjuk rasa di tengah pandemi yang membahayakan keselamatan dan kesehatan. Aspirasi dari pihak kampus dapat disampaikan dengan mekanisme yang ada dan cara yang santun.

Nizam juga meminta para dosen untuk tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan aksi unjuk rasa.

Sementara itu, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan bahwa memang pada aksi unjuk rasa anak perlu dilindungi.

Namun dalam konteks pendidikan tinggi, Satriwan meminta Kemendikbud tidak alergi dengan kekritisan mahasiswa dan dosen dalam mengkritisi UU Cipta Kerja.

"Ini semua merupakan wujud kebebasan akademik. Kemendikbud tidak seharusnya mengekang. Lagipula, kampus memiliki otonomi yang mesti dihargai Kemendikbud," imbuh Satriwan.

Baca juga: Cek fakta: Benarkah aksi dalam video ini dilakukan anak STM atau mahasiswa?

Baca juga: KPPPA: Ikut unjuk rasa bukan bentuk partisipasi anak

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020