Jakarta (ANTARA) - Sebuah studi yang dilakukan oleh perusahaan keamanan siber global Kaspersky menunjukkan bahwa empat dari 10 orang tua dari Asia Tenggara percaya bahwa anak-anak mereka menjadi "lebih pemarah dari biasanya" setelah bermain game.

Stephan Neumeier, Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky menyebutkan dalam siaran pers di Jakarta pada Senin, saat ini para orang tua membesarkan anak-anak digital natives, yakni, anak-anak yang terlahir dengan perangkat digital, dan internet.

"Kesenjangan generasi tersebut sering menyebabkan miskomunikasi dan skenario ini umum terjadi ketika seorang anak mengetahui lebih banyak tren dan trik online daripada sang ibu atau ayah," kata Stephan.

Baca juga: Tips aman belanja online saat Harbolnas

Baca juga: Wannacry mirip operasi retasan Korea Utara


Dalam studi yang berjudul "More Connected Than Ever Before: How We Build Our Digital Comfort Zones", survei terbaru pada 760 responden di Asia Pasifik mengonfirmasi bahwa anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu online karena situasi pandemi COVID-19.

Stephan menyebut ketakutan orang tua terhadap kebiasaan anak-anak bermain game online terkadang cukup objektif dan juga sedikit berlebihan.

Melarang anak bermain game dianggap Kapersky bukanlah keputusan tepat karena anak-anak disebut akan merasa diperlakukan tidak adil.

"Seperti banyak situasi lainnya, pelarangan bukanlah suatu pilihan. Orang tua tidak boleh melarang aktivitas anak dalam video game, tetapi secara efektif mengontrolnya, menggunakan perangkat lunak khusus dan pengaturan perangkat, serta berkomunikasi dengan anak dalam menjelaskan aturannya," kata Stephan.

Baca juga: Jangan pernah bayar uang tebusan "ransomware", kenapa?

Baca juga: Indonesia target kedua terbesar ransomware di Asia Tenggara H1 2020


Orang tua bisa melarang kegiatan sang anak main game online jika anak memiliki kecenderungan yang merugikan kesehatan misalnya ada gangguan penglihatan dan mengganggu postur tubuh.

Perilaku agresif seorang anak tidak didorong oleh video game yang mereka mainkan, tetapi oleh alasan lebih luas.

"Misalkan Anda tidak menunjukkan video game pada Anak sama sekali, tapi mereka akan tetap berkompetisi kung fu dengan teman-temannya, menembak musuh yang tak terlihat dengan busur, pistol, peluncur granat atau peledak. Baik anak laki-laki maupun perempuan melakukan ini, meskipun diyakini bahwa bermain peperangan adalah hak prerogatif anak laki-laki," kata Stephan.

Kapersky menyarankan agar para orang tua menggunakan peringkat usia (rating) dalam video games.

"Ingatlah bahwa peringkat usia bahkan mengalami penyimpangan kecil, jika cukup yakin bahwa game dengan peringkat 12+ itu bagus, mengapa tidak menginstalnya untuk putra Anda yang berusia sepuluh tahun?" Kata Stephan.

Untuk mencegah anak main game yang idak sesuai dengan usianya (misalnya, yang dibeli untuk Anda sendiri, atau yang mereka unduh dari Internet), gunakan perangkat lunak untuk membatasi kemampuan peluncuran game atau konten apa pun yang didasarkan pada peringkat usia.

"Hal terpenting adalah selalu ingat bahwa setiap kali mencoba membatasi akses anak ke permainan, pertama-tama Anda perlu berbicara dengan mereka dan menjelaskan mengapa tindakan tersebut penting dilakukan," kata dia.

Baca juga: Waspadai aplikasi pra-instal dalam ponsel

Baca juga: Riset: 40 persen konsumen daring Asia Pasifik alami kebocoran data

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020