Menurut Katadata, terdapat 51 persen konsumen baru pertama kali berbelanja secara daring pada saat penerapan pembatasan sosial berskala besar
Jakarta (ANTARA) - Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University Lilik Noor Yuliati mengatakan pembelanjaan secara daring meningkat 7,4 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19.

"Pada saat pandemi, peningkatan pembelian daring dipicu kebijakan tetap di rumah dan pembatasan sosial. Peningkatan pembelian secara daring terjadi pada semua kelompok umur," kata dia melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan peningkatan pembelanjaan daring tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan pada 27 April 2020 hingga 4 Mei 2020 terhadap 1.126 rumah tangga di 27 provinsi di Indonesia.

Dalam kajian tersebut juga ditemukan bahwa 35,3 persen responden meningkat frekuensi pembelanjaannya secara daring.

Menurut Lilik, generasi milenial yang sudah akrab dengan teknologi dan mudah beradaptasi menganggap pembelanjaan secara daring bukan sebagai suatu hal yang baru, sedangkan bagi generasi yang lebih tua, berbelanja secara daring merupakan suatu hal baru yang terpaksa mereka lakukan karena tuntutan situasi selama pandemi COVID-19.

"Menurut Katadata, terdapat 51 persen konsumen baru pertama kali berbelanja secara daring pada saat penerapan pembatasan sosial berskala besar," tuturnya.

Baca juga: Tips belanja daring, konsumen wajib teliti

Saat penelitian tersebut dilakukan, berbelanja secara daring dipersepsikan memberikan kemudahan dengan gaya hidup yang serba praktis.

Di sisi lain, konsumen yang rasional juga mempertimbangkan kemanfaatan dan kerugian dari berbelanja secara daring.

Konsumen yang memiliki pengalaman berbelanja secara daring dan merasakan lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya akan mengulang kembali pembelanjaannya secara daring.

"Persepsi manfaat berbelanja daring adalah sejauh mana konsumen memperoleh kenyamanan saat berbelanja, memilih produk, kemudahan berbelanja, dan kesenangan atau kebahagiaan saat berbelanja, sedangkan persepsi risiko adalah persepsi konsumen mengenai ketidakpastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima dari pembelanjaan secara daring antara lain risiko keuangan, risiko produk, dan risiko waktu atau kenyamanan," katanya.

Baca juga: Kenali hak konsumen saat belanja daring
Baca juga: Mendes PDTT gaungkan "belanja batik secara daring"
Baca juga: Pelaku e-commerce akui pandemi ubah tren belanja daring

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020