Denpasar (ANTARA) - Gitaris I Wayan Balawan dan koreografer Dr Eko Supriyanto membedah peluang seni virtual di era pandemi COVID-19 dalam ajang timbang rasa (sarasehan) bertajuk "Monetisasi Seni Virtual" sebagai rangkaian Festival Seni Bali Jani II.

"Saya seorang penari dan koreografer, di masa pandemi ini merasakan dampaknya. Kegiatan kreatif berkurang, teman-teman studio terimbas, namun saya salah satu orangyang beruntung masih bisa tampil di ruang bebas, pentas untuk berkreasi lewat seni virtual," kata koreogafer yang akrab disapa Eko Pece ini dalam sarasehan yang berlangsung secara virtual dari Taman Budaya, Denpasar, Senin.

Meskipun pandemi, selama ini dirinya dari sisi ekonomi masih terbantu melalui kegiatan virtual yang digelar oleh Kemendikbud maupun lembaga lainya. Begitu juga seniman lainnya, seperti Sujewo Tejo, menghadirkan karya-karya virtual dengan tiketing, jadi tetap ada peluang.

"Dampak pandemi ini, justru memberi ruang lebih luas untuk berkarya. Aktivitas kami semua bergeser ke virtual. 'Ngamen online, program Kemendibud, kompetisi virtual. Panggung berubah, saat ini tidak lagi panggung ditonton langsung, melainkan panggung virtual," ujar pria yang juga akademisi ISI Surakarta itu.

Begitupula film, tari, juga dilombakan lewat seni virtual. Yang menarik, lanjut dia, vlog dan YouTube juga merupakan ruang pertunjukan yang memiliki peluang yang masih bisa dikerjakan pekerja seni untuk mendapatkan penghasilan.

"Pertanyaannya, tetapi apa bisa kita (seniman) menjadi vloger? Pada saat ini kesempatan untuk berpikir ke situ. Apakah tuntutan ini akan terjadi? Saya optimistis mengarah ke sana, apakah bisa seorang seniman melakukanya? Riilnya, seniman kita belum sepenuhnya siap, senimam tradisional, SDM harus dipersiapkan, dan mampu berkolaborasi dengan pihak yang paham digital," kata Eko.

Di satu sisi, tantangan seniman kreatif menjadi youtuber atau vloger dituntut secara kualitas tetap terjaga, saat ini tantangannya banyak sajian seni virtual tampil seadanya, secara kualitas belum tercapai.

"Kita bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak yang ahli di bidangnya. Ada sinergi, orang yang ngerti digital, penata kamera, paham tentang panggung dan sebagainya," sarannya.

Eko pun sudah mengusulkan kepada pemerintah melalui Kemenparekraf agar mengemas sebuah kegiatan seni virtual menjadi sebuah produk yang berdampak langsung pada seniman. "Dengan harapan ada wadah baru, yang menaungi teman-teman seniman dalam berkarya di era baru ini," ucapnya

Sementara itu, gitaris I Wayan Balawan berpandangan senada. Melalui YouTube pun peluang untuk mendapatkan uang cukup besar. Namun, tidak mudah juga mencari uang apabila konten yang disajikan tidak dikemas menarik dan bagus.

Apalagi ketentuan konten YouTube minimal mendapatkan 1.000 subscriber dan 4.000 jam ditonton publik secara valid.

"Dunia follower untuk meraih subscriber tinggi risikonya hanya dua, yaitu dipuji dan dihujat. Ini sama-sama mendatangkan like dan subscriber tinggi," kata Balawan.

Selanjutnya, ruang kreatif panggung di pentas virtual sangat berbeda. Meskipun punya karya bagus, tetapi kalau judulnya tidak menarik, susah juga menaikkan jumlah penonton. Namun kalau judul karya yang aneh, unik, menyeramkan, maka cepat sekali ditonton," ucap Balawan, seraya mencontohkan dirinya dalam karya Balawan memainkam delapan gitar aneh, justru cepat naik jumlah penontonnya.

Terkait dengan peluang karya seni ditayangkan secara virtual sangat rentan dengan pelanggaran hak cipta, Balawan tak menampiknya. Menurutnya, bicara hak cipta sejatinya sudah banyak dibicarakan dan dikeluhkan rekan-rekan komposer di Indonesia.

"Soal perlindungan karya, di negara kita belum punya sistem, kalau di luar negeri jelas ada, yaitu seorang publisher yang khusus ditempatkan untuk mengatur tayangan terkait hak cipta orang," ujar Balawan.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020