Washington (ANTARA) - Presiden Donald Trump menginginkan Mahkamah Agung Amerika Serikat turun tangan dalam pemilihan presiden --yang hasilnya masih terlalu dini untuk diketahui-- namun lembaga tersebut mungkin bukan penentu akhir dalam pemilihan ini, kata para pakar hukum.

Para ahli ragu bahwa pengadilan-pengadilan akan mendukung upaya Trump untuk menghentikan penghitungan surat suara yang diterima sebelum atau pada Hari Pemilihan.

Mereka juga meragukan setiap perselisihan yang mungkin ditangani pengadilan akan mengubah arah persaingan di negara-negara bagian yang diperebutkan dengan ketat, seperti Michigan dan Pennsylvania. 

Dengan pemungutan suara yang masih dihitung di banyak negara bagian pada Rabu (4/11) pagi, Trump muncul di Gedung Putih dan secara tidak benar menyatakan kemenangan atas penantangnya dari Partai Demokrat, Joe Biden.

Trump sebelumnya selama kampanye mencela pemungutan suara melalui surat. Menurutnya, tanpa memberikan bukti, pemungutan suara melalui surat menyebabkan penipuan, yang sebetulnya jarang terjadi dalam pemilu AS.

Berpegang pada tema itu, Trump mengatakan, "Ini adalah penipuan besar di negara kita. Kita ingin hukum digunakan dengan cara yang tepat. Jadi kami akan maju ke Mahkamah Agung AS. Kami ingin semua pemungutan suara dihentikan."

Trump tidak memberikan bukti apa pun untuk mendukung klaim penipuan atau merinci litigasi apa yang akan dia kejar di Mahkamah Agung.

Kemudian pada Rabu, tim kampanye Trump mengajukan diri untuk campur tangan dalam kasus yang sedang dibahas di Mahkamah Agung dalam upaya memblokir penghitungan surat suara yang datang belakangan di Pennsylvania.
 
Tim kampanye Trump dan para anggota Partai Republik lainnya juga telah mengajukan berbagai keluhan di  beberapa negara bagian lain, termasuk upaya untuk menghentikan penghitungan suara di Michigan.

Hingga Rabu malam, hasil pemilihan bagi kedua kandidat seimbang. Sejumlah negara bagian yang diperebutkan secara ketat  kemungkinan memutuskan hasilnya dalam beberapa jam atau baru dalam beberapa hari mendatang karena sejumlah besar surat suara yang dikirim di tengah pandemi virus corona tampak telah menunda proses penghitungan. 

Namun, para ahli hukum mengatakan bahwa meskipun mungkin ada keberatan terhadap surat suara tertentu atau prosedur pemungutan suara dan penghitungan, tidak jelas apakah perselisihan semacam itu akan menentukan hasil akhirnya.

Ned Foley, seorang ahli hukum pemilu di Universitas Negara Bagian Ohio, mengatakan pemilu saat ini tidak memiliki materi yang akan menciptakan situasi seperti dalam pemilihan presiden tahun 2000, yaitu ketika Mahkamah Agung mengakhiri penghitungan ulang dengan hasil George W. Bush menang atas Al Gore dari Demokrat.

"Ini masih sangat awal, tetapi saat ini tampaknya tidak jelas bagaimana hal ini akan berakhir di mana Mahkamah Agung AS akan mengambil keputusan," kata Foley.

Baik Partai Republik dan Demokrat telah mengumpulkan pasukan pengacara yang siap berdebat sengit.

Tim Biden termasuk Marc Elias, seorang pengacara pemilu terkemuka di firma Perkins Coie, serta dua mantan solicitor general, Donald Verrilli dan Walter Dellinger.

Para pengacara Trump antara lain adalah Matt Morgan, penasihat umum kampanye presiden, William Consovoy, pengacara spesialis gugatan Mahkamah Agung, serta Justin Clark, penasihat senior kampanye.

Pengacara Trump Jenna Ellis pada Rabu membela upaya Trump untuk menentang penghitungan suara dan mengevaluasi opsi hukumnya.

"Jika kita harus melalui tantangan hukum ini, itu belum pernah terjadi sebelumnya," kata Ellis kepada Fox Business Network saat wawancara. "Beliau ingin memastikan bahwa pemilu tidak dicurangi."

Kasus paling mungkin yang sedang ditangani Mahkamah Agung adalah sengketa Pennsylvania, yaitu Partai Republik mengajukan banding terhadap keputusan pada September oleh pengadilan tinggi Pennsylvania --yang mengizinkan surat suara dengan cap pos pada Hari Pemilihan, serta diterima hingga tiga hari kemudian, untuk dihitung. 

Mahkamah Agung sebelumnya menolak untuk mempercepat banding oleh Partai Republik. Tetapi, tiga hakim konservatif tetap membuka kemungkinan untuk mengangkat kasus ini lagi setelah Hari Pemilu.

Bahkan jika pengadilan akan menangani kasus dan aturan untuk Partai Republik, pengadilan mungkin tidak menentukan pemungutan suara akhir di Pennsylvania, karena kasus ini hanya menyangkut surat suara yang diterima setelah 3 November.

David Boies, yang mewakili Gore pada 2000, mengatakan tidak mungkin tim kampanye Trump akan berhasil dalam upayanya yang ketiga kali untuk memblokir tenggat waktu yang diperpanjang.

"Saya pikir ini lebih merupakan harapan," kata Boies. Ia menambahkan bahwa hasil Pennsylvania bahkan bisa menjadi tidak relevan, tergantung pada hasil di Michigan dan Wisconsin.

Dalam kasus Pennsylvania yang diajukan ke pengadilan federal di Philadelphia, Partai Republik menuduh pejabat di pinggiran kota Montgomery County menghitung secara ilegal surat suara lebih awal dan memberi kesempatan kepada pemilih yang menyerahkan surat suara yang rusak untuk memilih ulang.

Jika Biden mengamankan 270 suara elektoral tanpa membutuhkan Pennsylvania, kemungkinan perselisihan hukum di negara bagian itu berkurang, kata para ahli hukum.

Dan adanya penolakan juga harus melalui hierarki pengadilan yang biasa.

"Menurut saya, Mahkamah akan segera menolak segala upaya Presiden atau tim kampanyenya untuk memperpendek proses hukum biasa," kata Steve Vladeck, profesor di University Texas di Austin School of Law.

"Bahkan Bush v. Gore melalui pengadilan Negara Bagian Florida lebih dulu," katanya. 


Sumber: Reuters

Baca juga: Tim Trump tuntut penghitungan suara di Michigan dihentikan

Baca juga: Biden yakin menang dalam Pemilu AS, Trump ajukan gugatan

 

AS perpanjang pembebasan tarif bea masuk untuk Indonesia

Penerjemah: Azis Kurmala
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020