Dengan adanya layanan digital ini diharapkan angka inklusi keuangan itu bisa meningkat
Jakarta (ANTARA) - Kepala OJK Institute Agus Sugiarto menilai prospek neobank atau virtual banking, layanan perbankan digital tanpa adanya kontak fisik antar manusia, sangat menjanjikan.

"Prospek neobank di Indonesia itu sebenarnya sangat menjanjikan. Ada beberapa alasan, pertama, pengguna internet di Indonesia itu hampir mencapai 200 juta orang menurut data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia. Itu luar biasa besar sekali," ujar Agus dalam sebuah diskusi daring bertajuk Traditional Bank vs Neobank di Jakarta, Selasa.

Alasan berikutnya, lanjut Agus, dari hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks inklusi keuangan Indonesia masih 76,19 persen. Artinya dari setiap 100 penduduk di Indonesia yang sudah memiliki akses ke lembaga jasa keuangan atau ke produk-produk jasa keuangan, baru sekitar 76 orang.

"Artinya masih ada 24 orang yang belum punya akses. Dengan adanya layanan digital ini diharapkan angka inklusi keuangan itu bisa meningkat," kata Agus.

Selain itu, alasan lain prospek neobank di Indonesia sangat besar yaitu penjualan mobile device di Indonesia yang sudah mencapai 338 juta unit di 2020, melampaui total penduduk Indonesia saat ini.

"Bayangkan, penduduk kita hanya 280 juta, tapi penjualan mobile phone dan sejenisnya bisa mencapai 338 juta. Ini sebenarnya potensinya besar sekali," ujarnya.

Sementara itu, perilaku digital masyarakat saat ini juga semakin meningkat, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali pun tidak lepas dari aktivitas digital seperti melakukan chat secara daring, berbagi di sosial media, dan sebagainya.

"Terakhir, yang menjadi alasan prospek neobank di Indonesia sangat besar yaitu saat ini belum ada neobank yang beroperasi secara resmi. Yang disebut dengan neobank ya, bukan fintech," kata Agus.

Di beberapa negara, tutur Agus, istilah neobank ini sama artinya dengan internet-only banks atau bank digital yang sekarang sedang menjamur di negara-negara maju. Beberapa contoh neobank yang sudah beroperasi antara lain, Atom Bank dan Starling Bank di Inggris, JUNO dan AXOS di Amerika Serikat, Volt Bank di Australia, dan Jibuan Bank di Jepang. Dengan demikian, neobank ini bukan hanya sekedar cetak biru yang masih dalam angan-angan saja, melainkan sudah dipraktekkan di beberapa negara maju.

Menurut Agus, keberadaan neobank mengalami momentum yang luar biasa pada saat pandemi berlangsung mengingat adanya beberapa faktor pemicu. Pertama, keganasan virus COVID-19 yang menjalar dari manusia ke manusia menciptakan ketakutan yang luar biasa bagi semua orang, sehingga menyebabkan interaksi sosial menjadi berkurang dan semakin terbatas.

Kedua, penggunaan uang tunai semakin berkurang dan dihindari karena dampak penularan virus melalui uang kertas sangat tinggi, sehingga sedapat mungkin semua transaksi menggunakan instrumen nontunai. Ketiga, pemanfaatan metode pembayaran yang bersifat contactless semakin diminati masyarakat untuk menggantikan temu muka secara fisik.

Oleh karena itu, upaya mengurangi kontak fisik antar manusia dalam transaksi keuangan harus dilakukan guna mencegah penularan yang lebih besar. Fakta-fakta inilah yang menjadi momentum dan sekaligus katalisator perlunya kehadiran layanan keuangan perbankan secara digital yang bisa diwujudkan salah satunya dengan kehadiran neobank.

Baca juga: Anabatic-Huawei bidik peluang kebutuhan infrastruktur digital bank
Baca juga: Presdir MNC Bank sebut perbankan digital kunci capai inklusi keuangan
Baca juga: BNI catat layanan digital dimanfaatkan 22,6 juta warga

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020