Jakarta (ANTARA) - Kemunculan Donald Trump, dan kemudian Brexit, kian menambah sengit diskursus mengenai masa depan demokrasi yang sudah separuh dicengkeram oleh populisme yang sebelum Trump pun sudah menaikkan tokoh-tokoh populis seperti Vladimir Putin di Rusia, Narendra Modi di India, dan banyak lagi.

Kecenderungan seperti ini mendorong sejumlah cendekiawan politik mengajukan hipotesis mengenai masa depan demokrasi ketika demokrasi malah sering melahirkan pemimpin-pemimpin yang ironisnya mencampakkan demokrasi dan melucuti kelembagaan politik yang demokratis.

Di antara yang cermat membahas hal ini adalah dua ilmuwan politik Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, yang menulis buku "How Democracies Die" yang sempat membuat heboh Indonesia beberapa waktu lalu.

Buku ini lebih merupakan pengingat mengenai produk keliru demokrasi yang bisa balik mematikan demokrasi. Namun kritik besar terhadap demokrasi ada terjadi jauh sebelum buku itu ada, setiap waktu.

Perdebatan mengenai masa depan demokrasi itu sendiri belakangan dikaitkan dengan kecepatan negara-negara demokrasi dalam mengatasi pandemi virus corona.

Keterkaitan ini sempat menjadi bahasan besar di Eropa setelah Italia, Spanyol, Prancis dan Inggris, selain juga AS, kalah cepat dalam merespons pandemi ketimbang negara-negara otoriter seperti China.

Tak seperti negara demokrasi di mana setiap keputusan publik mesti melalui mekanisme checks and balances termasuk mempertimbangkan suara oposisi, bahkan dalam beberapa hal melibatkan pula cabang kekuasaan yudikatif, negara-negara otoriter memang bisa mengambil dan menerapkan kebijakan publik yang super-cepat.

Ketika di beberapa negara demokrasi maju, ketentuan wajib masker di tempat umum saja harus melalui proses parlemen, maka di negara-negara otoriter tinggal mengetok palu tanpa mesti melewati diskusi politik di parlemen.

Tetapi itu pula yang membuat langkah-langkah negara demokrasi dalam memerangi pandemi lebih lamban dibandingkan dengan negara-negara otoriter. Pada satu titik, hal ini kian mengeraskan pertanyaan seputar efektivitas demokrasi, khususnya saat masa krisis.

Dalam tingkat yang lebih ekstrem, keadaan ini memicu kritik luas terhadap fungsi dan efektivitas lembaga-lembaga negara, partai politik, perangkat demokrasi dan birokrasi yang sering dianggap sudah terlalu usang sehingga sudah waktunya dilucuti.

Dari titik inilah tokoh-tokoh alternatif anti-kemapanan yang hampir semuanya populis bermunculan sambil mengeksploitasi apa yang disebut aspirasi rakyat kebanyakan.

Namun sayang, kebanyakan para populis tak membuat keadaan menjadi lebih baik, bahkan kerap berubah otoriter. Mereka lebih mempedulikan mayoritas penduduk, sambil mengabaikan minoritas.

Pemilihan umum yang pemenangnya ditentukan oleh siapa yang menangguk suara paling banyak pun membuat pemimpin populis menjadi pragmatis dengan enggan melindungi minoritas dan keperluan membangun harmoni mayoritas-minoritas.


Efek Biden

Mereka juga menggunakan pemilu dan partai politik lebih dari sekadar kendaraan untuk berkuasa. Sebaliknya, kelemahan parpol-parpol telah membuat demokrasi rentan dari pengaruh tokoh-tokoh populis.

Pada gilirannya kaum populis ini balik menjadi ancaman terhadap eksistensi demokrasi.

Mengutip laporan "Global Populism and Their Challenge" yang diterbitkan Universitas Stanford pada Maret 2020, kaum populis mengancam demokrasi lewat tiga cara, yakni:

Pertama, dengan merongrong lembaga-lembaga formal seperti pengadilan, legislatif, dan badan-badan regulasi dengan menyebut semua itu ciptaan 'elit korup.' Namun begitu mereka memenangkan pemilu demokratis, mereka malah tak bisa mengendalikan diri dan mempolitisasi lembaga-lembaga demokrasi.

Kedua, meredefinisi rakyat yang acap sambil mengecualikan kelompok minoritas etnis, agama, imigran, dan ekonomi terpinggirkan. Alhasil menelurkan kekuasaan mayoritas tanpa hak minoritas.

Ketiga, mencampakkan norma-norma informal demokrasi, meragukan oposisi dan menyerang kritik sebagai hoaks. Dan alih-alih menoleransi pers bebas dan oposisi politik, mereka malah berusaha merusak legitimasinya.

Ketiga poin di atas itu terasa sekali saat menyaksikan apa yang terjadi di AS ketika Trump mengabaikan institusi-institusi formal yang ada, termasuk pengadilan dan norma-norma politik tak tertulis, dengan terus saja menyebut diri telah dicurangi.

Itu mirip dengan Benjamin Netanyahu di Israel yang menolak mundur justru saat menjadi pesakitan kasus korupsi di pengadilan.

Dalam sejumlah hal, Modi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Brasil Jair Bolsonaro dan banyak lagi, termasuk calon-calon pemimpin politik, melakukan apa yang dilakukan Trump.

Namun secercah harapan muncul setelah Joe Biden memenangkan pemilihan presiden AS yang dianggap bakal mengoreksi populisme, dan menyumbat aliran misinformasi, disinformasi dan hoaks yang selama ini menjadi alternatif para tokoh populis untuk pers tradisional yang sudah tidak mereka percayai.

Kemenangan Biden sendiri beresonansi dengan pergeseran instan dalam sikap rezim-rezim populis di beberapa wilayah dunia. Mulai dari Erdogan yang mendekati kembali Barat, sampai kalahnya calon-calon kepala daerah di Brasil dukungan Bolsonaro pada putaran pertama pemilihan kepala daerah yang dianggap referendum terhadap kekuasaan Bolsonaro.

Di Eropa, pemimpin kanan jauh Belanda Thierry Baudet mundur akibat tudingan anti-semit, sedangkan pembicaraan Brexit masih tak menentu padahal tenggat 31 Desember kian dekat. Sebaliknya Uni Eropa kini menoleh kepada Biden untuk mengawali yang baru.

Sedangkan PM Polandia Mateusz Morawiecki dan PM Hungaria Viktor Orban tiba-tiba menjadi para pemimpin populis yang terasing di tengah lingkungan Uni Eropa-nya.


Tirani mayoritas

Di India, Narendra Modi tak nyaman dengan bakal hilangnya Trump sang mitra populisnya di Gedung Putih yang selama ini sedikit banyak menyemangati Modi dalam memajukan agenda-agenda populisnya.

Bukan tak mungkin angin perubahan yang menggerus populisme di dunia sebagai dampak kemenangan Biden, menekan kemunculan pemimpin-pemimpin populis atau memaksa yang sudah ada agar beradaptasi mengenai kemungkinan perlahan meredupnya populisme.

Tentu saja, populisme tidak melulu pupus oleh dampak global perubahan orientasi politik AS pasca pemilu 3 November.

Ini karena, apa pun keadaannya, respons internal sistem demokrasi di mana pun, termasuk Indonesia, adalah yang paling utama dalam mencegah tokoh populis yang lebih mempedulikan siapa yang terbesar dan terbanyak ketimbang menyatukan komponen-komponen nasional, saat berkuasa.

Ini tugas masyarakat dan lebih khusus lagi partai politik. Nah, mengutip analisis Universitas Stanford, guna merespons munculnya pemimpin-pemimpin populis, partai politik arus utama harus menempuh tiga hal.

Pertama, menggunakan retorika politik dalam memobilisasi pemilih, selain menjadi pembela lembaga-lembaga demokrasi dan menegakkan supremasi hukum.

Kedua, lebih melibatkan diri dalam politik koalisi baru yang merespons aspirasi pemilih dan mengecualikan kekuatan-kekuatan anti-demokrasi, selain saling menyokong satu sama lain.

Ketiga, berkomitmen kepada reformasi kelembagaan guna meningkatkan integritas kompetisi pemilu dengan mempertinggi keamanan pemilu, mendepolitisasi penyelenggaraan pemilu, dan mempertimbangkan pilihan yang terus menyempurnakan sistem pemungutan suara pemilu.

Ketiga cara itu bisa menguatkan tradisi, norma dan kelembagaan politik sehingga bisa mencegah naiknya populis yang mengatasnamakan rakyat padahal konsepnya tentang rakyat itu kerap abstrak, tidak menyentuh bumi.

Misal, saat Trump yang kaya raya dan tak pernah merasakan kemiskinan berbicara soal rakyat, tapi rakyat yang dia pahami bukan rakyat miskin atau kekurangan.Dalam beberapa hal dia bahkan terlihat tidak berempati ketika rakyatnya yang miskin dan terpinggirkan menjadi korban rasisme dan kekerasan aparat.

Definisi kaum populis mengenai demokrasi pun, meminjam istilah Timothy Garton Ash sang cendekiawan dan sejarawan Universitas Oxford di Inggris, murni soal kemayoritasan yang mirip dengan konsep tirani mayoritas yang diajukan filsuf Prancis abad ke-19, Alexis de Tocqueville.

Oleh karena misalnya, bagi pemimpin populis, 52 persen rakyat Inggris yang memilih Brexit dalam referendum 2016 adalah sama artinya dengan "seluruh rakyat" sehingga menafikan 48 persen yang tak memilih Brexit. Tak ada istilah kompromi dan rangkul merangkul.

Kalau pemimpin-pemimpin penyeru persatuan nasional seperti Joko Widodo berucap "kami adalah pemimpin dan penyayom dari 100 persen rakyat Indonesia" atau Biden berpesan "Saya bersumpah menjadi presiden yang tak mencari perpecahan, melainkan persatuan" yang tidak memandang negara bagian merah (Republik) dan biru (Demokrat) melainkan Amerika Serikat", maka pemimpin-pemimpin populis seolah menjauhi diksi seperti itu.

Itu karena mereka pada dasarnya adalah pemimpin untuk kaum mayoritas, bukan pemimpin untuk semua kaum.

Copyright © ANTARA 2020