Jakarta (ANTARA) - Setiap kali jarum waktu mendekat ke tanggal 1 Desember, sebagian masyarakat Papua dimobilisir untuk membangkitkan kembali ingatan palsu tentang hari ulang tahun OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Begitu seringnya kepalsuan itu diulang dan diglorifikasi sehingga banyak yang percaya, termasuk para SJW (social justice worker), bahwa klaim itu sebagai peristiwa yang legal dan faktual. Kekeliruan ini sudah berlangsung secara laten dan bertahun-tahun.

Namun fakta sejarah dan nalar hukum menunjukkan bahwa tak ada alasan yang sah untuk mengaitkan 1 Desember dengan hari lahir Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Ingatan palsu itu diglorifikasikan untuk memanipulasikan situasi bahwa seolah ada hak historis bagi kelompok yang menyebut dirinya sebagai OPM untuk memperoleh pengakuan.

Klaim palsu itu perlu diduduksoalkan secara proporsional. Dokumen sejarah hanya menyebutkan bahwa pada 18 November 1961, setelah dilaksanakannya rapat luar biasa Dewan Papua atau sebelumnya bernama Nieuw Guinea raad, dalam bahasa Belanda, diputuskan aturan tentang bendera dan lagu kebangsaan Papua.

Aturan ini ditetapkan oleh Gubernur Jenderal PJ. Platteel. Terkait perisai lambang, ketentuannya masih tertunda dan menunggu keputusan Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad van Adel) di Den Haag, Belanda. Meskipun demikian, pada 1 Desember 1961 dilaksanakan pengibaran bendera di kota Hollandia, saat ini Jayapura, dan ibukota onderafdeling.

Dengan demikian, bahwa sesungguhnya secara legal tanggal 1 Desember 1961 tidak dapat disebut atau dinyatakan sebagai Hari Kemerdekaan Niew-Guinea.

Bahwa sejarah mencatat adanya proses, atau paling tidak janji, ke arah sana oleh Kerajaan Belanda yang ketika itu masih berdaulat di atas Tanah Papua. Namun, secara legal, jelas tahapan itu sangat tidak memadai untuk dijadikan klaim sebuah deklarasi kemerdekaan.

Baca juga: Polri: Tak ada perayaan HUT OPM di Papua

Belum lagi persoalan politiknya, proses politik yang hanya melibatkan segelintir elit itu tentu sulit untuk disebut memiliki legitimasi tinggi. Atas dasar apa gerangan Gubernur Jenderal dan Niew Guinea Raad bahwa di keseluruhan wilayah hanya perlu satu negeri merdeka, bukan dua, tiga atau seterusnya.

Tak ada bukti sejarah adanya proses politik yang melibatkan rakyat secara luas untuk event 1 Desember itu. Klaim OPM itu jelas tak memiliki legitimasi politik yang kuat.

Toh, di tengah miskinnya bukti sejarah dan kebenaran hukum, OPM terus giat mengolirifikasikan 1 Desember sebagai hari bersejarahnya. Tentu ini terkait dengan niatan mereka untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Glorifikasi itu terlihat dari pernyataan yang disampaikan oleh Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom. "1 Desember itu hari para tokoh Papua dan pemerintahan Belanda mengumumkan embrio negara. OPM berjuang untuk pengakuan itu."

Namun, dalam konteks kekinian, pernyataan juru bicara OPM tersebut tidak hanya mengingkari fakta sejarah dan kebenaran yuridis, mereka juga tidak mewakili pendapat seluruh masyarakat Papua. Bahkan, tindakan itu provokatif.

Dalam hal fakta sejarah dan kebenaran hukum, justru masyarakat Papua sudah memberikan sebuah pernyataan tegas untuk merdeka atau bersama Indonesia. Pernyataan itu diformalkan dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Mereka yang mengingkari fakta tersebut biasa mengatakan bahwa Pepera adalah akal-akalan Indonesia untuk menguasai Papua, sampai mengatur hasilnya agar masyarakat Papua memilih untuk bergabung ke Indonesia.

Tuduhan itu juga ngawur. Indonesia justru membantu memerdekakan Papua dari Belanda melalui Perjanjian New York tahun 1962, untuk kemudian memberi kesempatan masyarakat Papua mengambil keputusan sendiri melalui Pepera dengan proses yang lebih legitimate.

Integrasi Papua ke Indonesia sudah sah, disetujui dan disahkan PBB. Bahkan, mereka melakukan supervisi langsung ketika diadakan Pepera tahun 1969. PBB mengutus 50 orang untuk mengawasi pelaksanaan Pepera yang dilakukan di 8 kabupaten dan oleh dihadiri 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mewakili 809.327 penduduk Papua kala itu.

Hasil Pepera di 8 kabupaten tersebut secara mutlak memilih dan menetapkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat. Secara de Facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan wilayah NKRI ini.

Pepera sendiri disahkan melalui Resolusi PBB No. 2504 pada sidang umum 19 November 1969, yang disetujui oleh 82 negara, sedangkan 30 negara lainnya memilih abstain.

Baca juga: Polres Jayapura amankan 34 warga terkait HUT OPM

Pihak-pihak yang kontra dengan ini memberikan argumen bahwa Resolusi PBB Nomor 2504 merampas hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial-budaya (sipol-ekososbud) rakyat Papua Barat, yang adalah bagian dari suatu bangsa di dunia. Bahkan, mereka mengatakan bahwa resolusi PBB tersebut dapat diistilahkan bola api liar yang sedang dimainkan dalam arena kepentingan geopolitik di West Papua, yaitu kepentingan Imperialis AS tujuan utama ekonomi, dan kepentingan Indonesia tujuannya politik.

Kita tidak bicara politik dalam konteks ini, namun hukum, tepatnya hukum internasional. Resolusi PBB Nomor 2504 itu merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Papua.

Atas dasar itu, penting untuk kita pahami bahwa setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku.

Resolusi PBB diakui secara internasional sebagai sebuah bentuk dari hukum internasional. Masalahnya sekarang, bagi pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Papua menjadi bagian dari Indonesia, hanya bermotifkan ingin Papua merdeka. Itu artinya, pihak-pihak tersebut tidak mau belajar sejarah dan hukum.

Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi tadi. Kemudian, resolusi PBB pun merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) yang sudah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.

Baca juga: Hendropriyono sebut OPM adalah pemberontak, bukan KKB

PBB telah memperhitungkan konsekuensi dalam berdemokrasi wajar akan adanya pro dan kontra akan hasil Pepera ini. Silang pendapat antara fihak menerima keputusan versus yang menentang keputusan, adalah bisa diterima sejauh dilakukan dengan mengindahkan hukum yang berlaku dan tidak memantik pertentangan .

Namun, gugatan atas keabsahan Pepera oleh oknum yang tidak bertanggung jawab bisa dinilai hanyalah upaya mencari kambing hitam, dengan memanfaatkan celah sejarah, yang hanya untuk kepentingan kelompoknya.

Pepera tahun 1969 telah dilaksanakan sesuai kondisi wilayah serta perkembangan masyarakat, di mana tidak memungkinkan untuk dilakukan secara “one man, one vote”. Jika hal ini dipandang sebagai suatu kekurangan ataupun kecacatan, nyatanya PBB telah menerima keabsahan Pepera melalui resolusi No 2504. Bahkan, masyarakat Internasional mengakui secara penuh dan tak ada satupun pihak yang menolak.

Intinya, tidak ada hari kemerdekaan Papua, apakah itu 1 Desember, 1 Juli, atau hari-hari lainnya. Jika ada, itu hanya provokasi laten oleh OPM yang kerap menyuarakan Papua merdeka.

Tak jarang provokasi itu diarahkan untuk mendatangkan benturan politik yang justeru merugikan masyarakat Papua, yang bersama-sama dengan komponen bangsa Indonesia lainnya, sedang membangun negara menuju masyarakat yang cerdas, sehat, bersatu, bermartabat, kompetitif dan adil-makmur dalam bingkai NKRI.

*) Heddy Lugito, Wartawan senior mantan Sekjen Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat.

Copyright © ANTARA 2020