Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan baik jumlah maupun kualitas belanja anggaran di tengah-tengah masa pandemi seperti saat ini.

"Belanja untuk kegiatan perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan teralokasi Rp1,7 triliun tapi hanya mampu terserap sebanyak 38,65 persen atau sekitar Rp688,8 miliar," kata Moh Abdi Suhufan kepada Antara di Jakarta, Senin.

Abdi mengingatkan bahwa masa pandemi ini telah memukul beragam sektor ekonomi, termasuk berpengaruh kepada sektor kelautan dan perikanan.

Untuk itu, ujar dia, KKP seharusnya juga mampu ikut berkontribusi kepada upaya mengatasi krisis, menekan dan mengatasi angka pengangguran.

Baca juga: Menteri ad interim Luhut serahkan DIPA KKP 2021

"Namun sejauh ini, intervensi program dan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan kurang menyasar pada penciptaan lapangan kerja. Padahal sektor kelautan dan perikanan berpeluang untuk menjadi buffer ekonomi masyarakat terutama di pedesaan," paparnya.

Ia berpendapat bahwa rendahnya belanja mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan bergerak lambat dan masyarakat nelayan, pembudidaya dan pelaku usaha tertekan menghadapi dampak COVID-19 pada usaha yang mereka lakukan.

Abdi merekomendasikan agar KKP merancang program padat karya desa pesisir untuk serap tenaga kerja di bidang budidaya, penangkapan, pengolahan dan UKM perikanan seperti pembukaan tambak, pendirian usaha koperasi produksi dan pembuatan kapal ukuran kecil.

Baca juga: Anggaran budidaya meningkat, KKP susun rencana kerja prioritas 2021

Sementara itu, peneliti DFW Indonesia Subhan Usman menyoroti peran dan keberadaan Penasehat Menteri dan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan yang dinilai tidak efektif.

"Keberadaannya tidak efektif, memperpanjang birokrasi dan menciptakan banyak bos dalam kelembagaan KKP," kata Subhan Usman.

Ia menilai, kedua tim tersebut tidak berhasil memberikan early warning system yang memadai sehingga akhirnya ada kasus korupsi yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, ujar dia, tim yang dibentuk pada Januari 2020 dan berjumlah 22 orang tersebut juga dinilai membebani APBN KKP.

"Kami melihat tidak ada output dan rekomendasi strategis yang bermanfaat dan dipergunakan oleh Menteri dalam pengambilan keputusan dan berdampak positf bagi stakeholder kelautan dan perikanan," kata Subhan.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020