Jakarta (ANTARA) - Tak terasa kita telah berada di ujung tahun 2020. Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru 2021. Tentu dengan semangat dan harapan baru. Penuh dengan optimisme menyongsong tahun baru dengan kehidupan yang lebih baik.

Tak terasa pula pandemi COVID-19 telah sembilan bulan melanda negara ini. Dampaknya yang menonjol tidak hanya dirasakan dalam bidang ekonomi dan kesehatan, tapi juga dalam bidang pendidikan serta bidang-bidang yang lain. Kerja keras melawan dan menanggulangi wabah akibat penularan virus corona tipe baru tersebut sudah terus menerus dilakukan, sekalipun tentu saja masih terdapat banyak kekurangan.

Pandemi COVID-19 telah menjadi musuh bersama bangsa-bangsa di dunia. Banyak korban telah jatuh. Di negara kita, menurut data per 3 Desember 2020, ada 557.877 orang yang terserang virus corona. Dari jumlah tersebut, 462.553 orang sudah dinyatakan sembuh dan 17.355 orang meninggal dunia. Begitu banyak nyawa yang melayang akibat virus corona.

Dengan kondisi yang demikian, ikhtiar harus terus dilakukan supaya wabah tidak lagi menimbulkan korban jiwa, penularan virus bisa dikendalikan, dan seluruh warga tetap bisa melakukan aktivitas dengan aman.

Berbagai upaya untuk menangkal dampak wabah pada aspek ekonomi dan kesehatan memang penting dan harus dilakukan. Namun, bidang pendidikan juga harus masuk skala prioritas dalam upaya penanggulangan wabah karena pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan warga negaranya. Karena itulah para pendiri bangsa dahulu merumuskan bahwa salah satu tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di samping itu, kalau kita baca sejarah penjajahan dan peperangan fisik, biasanya lembaga pendidikan akan dihancurkan untuk memperlemah bangsa yang dijajah atau yang menjadi lawan dalam peperangan. Itu dilakukan karena kalau proses pendidikan terhenti, kegiatan belajar mengajar tidak bisa dilaksanakan, maka anak-anak akan kehilangan masa depan dan bangsa akan sulit maju.

Oleh karena itu, ikhtiar juga harus dilakukan agar anak-anak bisa tetap belajar namun aman dari risiko penularan COVID-19 pada masa pandemi seperti sekarang.

Guna meminimalkan risiko penularan virus, anak-anak didik selama berbulan-bulan harus belajar di rumah. Kondisi yang demikian tentu menimbulkan perasaan jenuh, bosan, kangen bertemu teman, rindu kebersamaan dan suasana di sekolah, dan sebagainya.

Pembelajaran jarak jauh memang sudah terlaksana dengan baik, tetapi terlalu lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka akan menimbulkan dampak negatif (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 20/11/2020) seperti ancaman putus sekolah karena harus membantu orang tua mencukupi ekonomi keluarga, minat belajar menurun, tekanan psikososial, dan kekerasan terhadap anak yang tidak terdeteksi.

Sebagai bagian dari ikhtiar pemerintah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam dunia pendidikan, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) diterbitkan.

Ada empat poin penting dalam surat keputusan bersama empat menteri tersebut; Pertama, keputusan untuk membuka sekolah harus mendapat persetujuan bukan hanya dari pemerintah daerah tetapi juga dari pihak sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan dari orang tua murid.

Kuncinya ada pada orang tua. Jika komite sekolah tidak memperbolehkan sekolah dibuka maka sekolah tersebut tidak diperkenankan untuk dibuka. Di samping itu, sarana dan prasarana pendukung penerapan protokol kesehatan dalam pembelajaran tatap muka harus disediakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kedua, orang tua tidak harus mengkhawatirkan pelaksanaan kembali pembelajaran tatap muka karena sekolah tidak boleh memaksa anak didik untuk pergi ke sekolah dan orang tua bisa tetap memilih pembelajaran jarak jauh untuk anaknya (ANTARA, 26/11/2020). Jadi, pembelajaran tatap muka di sekolah hanya merupakan salah satu opsi dan tidak bersifat mutlak.

Ketiga, sekolah yang dibuka harus membuat kebijakan yang berbeda dengan sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Jumlah Siswa yang hadir dalam satu sesi kelas hanya boleh 50 persen dari kapasitas kelas. Sekolah juga diminta untuk memberlakukan rotasi atau sif untuk meminimalkan risiko penularan COVID-19 di lingkungan sekolah.

Keempat, dalam persiapan selama masa transisi pembelajaran tatap muka dan upaya memastikan anak dapat belajar dengan sehat dan selamat tentunya pemerintah daerah membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Dalam hal ini, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Perhubungan membutuhkan dukungan dan gotong royong dari pemerintah pusat, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Daerah, masyarakat sipil, satuan pendidikan, guru, dan orang tua siswa.

Melalui surat keputusan bersama empat menteri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ingin memastikan pembelajaran tatap muka yang akan dilaksanakan kembali mulai Januari 2021 berjalan dengan aman, sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

*) Anang Ristanto, S.E., M.A adalah Pranata Humas Ahli Madya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Baca juga:
Pembelajaran tatap muka diperbolehkan tapi tidak diwajibkan
IDAI: Pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka berisiko tinggi

Copyright © ANTARA 2020