Jakarta (ANTARA) - Hasil riset terbaru Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan milenial dan generasi Z memiliki kepedulian dan pengetahuan isu lingkungan hidup namun masih diabaikan atau belum signifikan didengarkan.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Walhi Yuyun Harmono dalam pemaparan riset Kejahatan Korporasi dan Ekosida di Mata Publik yang dilakukan tim riset persepsi publik Walhi terhadap kejahatan korporasi dan ekosida di Indonesia di Jakarta, Selasa, mengatakan kelompok muda dengan rentang usia 16 sampai dengan 25 tahun yang dalam hal ini merupakan kategori milenial dan generasi Z memiliki kepedulian dan pengetahuan yang cukup tentang isu lingkungan hidup.

Mereka, berdasarkan hasil riset yang dilakukan di tujuh provinsi kepada setidaknya 1.000 responden, menunjukkan memiliki pengetahuan yang baik tentang lingkungan hidup dan kejahatan lingkungan. Namun sejauh ini pengetahuan kelompok muda tersebut masih diabaikan atau belum dianggap signifikan untuk didengarkan.

Baca juga: WALHI: Banjir Aceh akibat perubahan fungsi hutan

Padahal, ia mengatakan kelompok muda tersebut bukan saja paham soal isu lingkungan hidup tetapi juga menerapkan kepedulian lingkungan hidup dalam kesehariannya. Mereka ingin mengambil peran lebih aktif dalam persoalan struktural lingkungan hidup, antara lain yang terkait aktor non negara (korporasi), kebijakan negara dan penegakan hukum.

Yuyun mengatakan hasil survei memang diakui belum dapat menggambarkan secara keseluruhan dari representasi nasional, namun temuan tersebut menangkap suara yang kuat dari kelompok muda, bahwa harus ada penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan lingkungan hidup yang melibatkan korporasi besar.

Dari riset tersebut, menurut dia, juga terlihat bahwa kelompok muda mengetahui dan memahami hak atas lingkungan hidup adalah hak asasi manusia dan menilai kejahatan terhadapnya merupakan pelanggaran berat HAM atau disebut ekosida. Namun, mereka membutuhkan informasi dan pengetahuan lebih dalam tentang ekosida, seperti mempelajari unsur-unsur kejahatan tersebut dalam instrumen HAM.

Baca juga: Walhi kritisi kebijakan "food estate" di kawasan hutan lindung

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan kejahatan korporasi bukan hanya soal lingkungan hidup semata tetapi juga terhadap HAM, yang dampaknya jangka panjang dan akan mempengaruhi hak hidup generasi datang dan sering kali sifatnya permanen.

"Sebenarnya kami sudah lama mendorong wacana ekosida. Beberapa tahun terakhir kami coba lebih intens karena kami lihat itu penting didorong sebagai konsep yang diakui negara dan bisa masuk sistem kenegaraan kita," ujar dia.

Walhi,kata dia, melakukan studi untuk melihat persepsi publik terhadap wacara ekosida tersebut dan hal struktural terhadap masyarakat. Itu berguna bagi mereka untuk merancang strategi komunikasi publik agar konsep tersebut dapat dukungan luas dari publik.

Mereka sengaja meminta tanggapan hasil riset tersebut kepada Komnas HAM, generasi muda, hingga jurnalis untuk memberi masukan atau rekomendasi yang berguna bagi Walhi ke depan dalam mendorong wacana ekosida tersebut sebagai arus utama di kemudian hari.

Koordinator Desk Politik Walhi Khalisa Kalid mengatakan agenda advokasi Walhi ke depan selain membawa agenda tersebut ke publik mereka berharap kejahatan ekosida bisa masuk dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.

"Di sana baru dua yang dikenal atau diakomodir, yaitu pelanggaran berat HAM, dan kami ingin usulkan kejahatan ekosida masuk menjadi kejadian atau pelanggaran berat HAM. Yang baru ada yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida," ujar dia.

Baca juga: Berusia 40 tahun, Emil Salim harap WALHI tetap pegang independensi
Baca juga: Cemari udara dan kesehatan, Walhi: BBM oktan rendah berdampak buruk
Baca juga: WALHI dorong sinkronisasi kebijakan nasional-daerah dukung SDA lokal


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020