DPR bersama pemerintah dan DPD RI biasanya menetapkan Prolegnas pada bulan Desember atau sebelum pergantian tahun.
Jakarta (ANTARA) - DPR RI akan memulai Masa Persidangan III Tahun Sidang 2020—2021 pada hari Senin (11/1) setelah memasuki masa reses sejak 11 Desember 2020 hingga 10 Januari 2021.

Pada Masa Persidangan II Masa Sidang 2020—2021, DPR telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap delapan calon anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dari Pemangku Kepentingan Periode 2020—2025.

Selain itu, uji kelayakan terhadap tujuh calon anggota Komisi Yudisial periode 2020—2025, uji kelayakan tujuh calon pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Pada Masa Persidangan II, DPR juga telah memberikan pertimbangan terhadap empat calon duta besar luar biasa dan berkuasa penuh negara sahabat untuk Republik Indonesia.

Di awal pembukaan Masa Persidangan III, 11 Januari 2021, ada berbagai tugas yang harus dijalankan DPR RI, baik itu legislasi, pengawasan, maupun anggaran, khususnya yang belum terselesaikan pada masa persidangan yang lalu.

Baca juga: KY umumkan nama-nama calon hakim yang diusulkan ke DPR

Ada beberapa agenda yang menjadi perhatian luas dan akan dibahas, misalnya pada hari Senin (11/1):

1. Penetapan Prolegnas 2021

Tugas legislasi DPR bersama pemerintah dan DPD RI yang belum diselesaikan pada Masa Persidangan II adalah menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. DPR bersama pemerintah dan DPD RI biasanya menetapkan Prolegnas pada bulan Desember atau sebelum pergantian tahun.

Penetapan Prolegnas Prioritas 2021 sebenarnya sudah dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR pada tanggal 17 November 2020 telah menginventarisasi 37 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Lalu dilanjutkan dengan Rapat Panja Baleg DPR RI pada tanggal 25 November yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dan perwakilan DPD RI dengan agenda penetapan Prolegnas Prioritas 2021.

Dalam Rapat Panja pada tanggal 25 November 2020 tersebut, Baleg telah menginvetarisasi 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dari 38 RUU tersebut, sebanyak 26 RUU usulan dari DPR, 10 RUU usulan dari pemerintah, dan 2 RUU usulan dari DPD RI.

Namun, pada rapat tanggal 25 November tersebut belum berhasil mengambil kesepakatan terkait dengan Prolegnas 2021. Direncanakan pengambilan keputusan pada hari Jumat (27/11) namun rapat batal.

Hingga akhir penutupan Masa Sidang II Tahun Sidang 2020—2021, 11 Desember lalu, keputusan akhir terkait dengan 38 RUU tersebut belum tercapai sehingga penetapan Prolegnas Prioritas 2021 harus ditunda.

Penundaan penetapan Prolegnas 2021 itu disebabkan karena masih adanya tiga RUU yang menjadi perdebatan dan polemik, yaitu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Bank Indonesia.

RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi usul inisiatif anggota DPR RI tidak lolos dari proses harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan di Baleg DPR RI. Hal itu karena dalam Rapat Panja RUU Ketahanan Keluarga di Baleg DPR, lima fraksi menyatakan menolak RUU tersebut dan empat fraksi menerima.

RUU HIP juga mendapatkan penolakan dari beberapa fraksi karena dikhawatirkan kalau tetap dilanjutkan pembahasannya akan menimbulkan polemik sehingga membutuhkan kajian yang lebih mendalam.

Terkait dengan RUU Bank Indonesia, enam fraksi meminta RUU tersebut dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021 karena materi dalam RUU tersebut sudah tercakup dalam RUU Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dengan metode omnibus law yang telah masuk dalam 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas 2021.

Baca juga: Puan: DPR akan cermat tetapkan Prolegnas 2021

2. Evaluasi Pilkada Serentak 2020

Agenda DPR RI yang juga akan dilakukan di awal Masa Persidangan III adalah evaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 karena pada masa sidang lalu belum dilakukan.

Pilkada 2020 dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020, sedangkan DPR reses sejak 11 Desember 2020 hingga 11 Januari 2021 sehingga agenda evaluasi pelaksanaannya belum sempat dilakukan.

Pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah kondisi pandemi COVID-19 awalnya dikritisi banyak pihak, terutama kalangan masyarakat sipil karena dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran COVID-19. Namun, hal tersebut sudah diantisipasi para penyelenggara pemilu dengan penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas di lapangan.

Dalam fungsi pengawasannya, Komisi II DPR RI telah memantau pelaksanaan Pilkada 2020 di beberapa daerah, antara lain Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Dari pelaksanaan tersebut, beberapa anggota DPR mengapresiasi pelaksanaan pilkada karena menerapkan prokes COVID-19 secara baik.

Selain itu, tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2020 banyak diapresiasi anggota DPR, yaitu sebesar 75,83 persen, melebihi jumlah pemilih yang menggunakan suaranya pada tiga pilkada pada saat nonpandemi.

Sebagai contoh, partisipasi pemilih di Pilkada 2015 sebesar 69,2 persen, pada Pilkada 2017 sebesar 74,5 persen, dan 73,2 persen di Pilkada 2018.

Namun, capaian keberhasilan pelaksanaan Pilkada 2020, ada beberapa catatan dalam rangka pembenahan pelaksanaan "pesta demokrasi" tersebut. Misalnya, terkait dengan jumlah permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) untuk pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) berjumlah sebanyak 136 permohonan.

Mahkamah Konstitusi menerima sebanyak 136 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang terdiri atas 7 hasil pilkada provinsi, 115 hasil pilkada kabupaten, dan 14 hasil pilkada Kota.

Jumlah PHPU sebanyak 136 permohonan tersebut menjadi catatan dalam pelaksanaan Pilkada 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah.

Baca juga: Tepati janji perkuat legitimasi politik kepala daerah

Anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai banyaknya (PHPU) untuk Pilkada 2020 merupakan bahan evaluasi semua pihak untuk berbenah diri terkait dengan penyelenggaraan pilkada seperti penyelenggara pemilu, aparat negara, parpol, pasangan calon, tim sukses, dan masyarakat.

Ia menjelaskan, banyaknya permohonan perselisihan hasil pilkada ke MK satu sisi perlu diapresiasi karena menunjukkan paslon makin dewasa dalam berdemokrasi.

Hal itu, menurut dia, karena ketika ada ketidakpuasan dalam hasil pemilihan. Mereka datang dan menyelesaikannya melalui institusi yang oleh sistem diberi kewenangan untuk itu.

Namun, di sisi lain, hal tersebut juga menunjukkan makin kuat kehendak semua pihak untuk menghadirkan pemilihan yang terus mewujudkan semangat dan perilaku yang jujur, adil, dan setara.

Tingginya PHPU tersebut tentu menjadi bahan evaluasi agar bagaiamana penyelenggaraan Pilkada dapat berjalan lebih beradab, bermartabat, dan berintegritas sehingga mendapatkan legitimasi yang kuat dari masyarakat.

Selain itu, Pilkada 2020 juga diwarnai dengan penundaan pemungutan suara di Kabupaten Boven Digoel, Papua, karena sempat terjadi kerusuhan beberapa hari sebelum pelaksanaan pilkada, 9 Desember lalu.

Polemik Pilkada Boven Digoel tersebut bermula dari keputusan KPU RI yang membatalkan pencalonan pasangan calon Yusak Yaluwo-Yacob Weremba karena Yusak belum melewati 5 tahun sejak selesai menjalani hukuman penjara.

Keputusan tersebut membuat situasi keamanan di wilayah tersebut tidak kondusif, seperti massa membakar rumah calon bupati Boven Digoel Chaerul Anwar. Setelah itu, Bawaslu Boven Digoel mengabulkan permohonan Yusak-Yacob sehingga bisa kembali ikut Pilkada 2020.

Baca juga: Hasil Pilbup Boven Digoel disengketakan ke MK

3. RUU Pemilu

Dalam daftar 38 RUU di Prolegnas 2021 yang belum disetujui antara DPR, pemerintah, dan DPD RI, terdapat RUU Pemilu yang merupakan revisi dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. RUU tersebut merupakan usul inisiatif Komisi II DPR dan saat ini prosesnya di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk dilakukan harmonisasi.

RUU Pemilu tersebut merupakan pertama kali sejak era Reformasi diusulkan DPR RI karena sebelumnya selalu diusulkan pemerintah.

Pada Masa Persidangan II lalu, Baleg DPR telah mendengarkan penjelasan pengusul terkait dengan RUU Pemilu dan Baleg sifatnya hanya harmonisasi bukan mengubah isi dari draf RUU tersebut. Rapat lanjutan harmonisasi RUU Pemilu tersebut akan dilakukan pada Masa Persidangan III yang akan dimulai pada hari Senin (11/1).

Dalam RUU Pemilu tersebut, ada sekitar lima poin krusial yang menjadi perhatian banyak kalangan, antara lain partai politik, masyarakat sipil, dan akademisi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Baleg menyebut RUU Pemilu merupakan agenda krusial yang diselesaikan DPR RI pada tahun 2021.

Kelima isu krusial tersebut, yakni pertama terkait dengan keserentakan pemilu, mayoritas anggota Komisi II DPR masih ingin kembali menggunakan sistem pada Pemilu 2014, yaitu pemilu anggota legislatif dan pemilu presiden dipisah pelaksanaannya. Kendati demikian, harus melihat kembali Putusan MK Nomor 55/2019.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 55/PUU-XVII/2019 menyebutkan enam varian model pemilu serentak untuk digagas oleh pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Keenam varian tersebut, yaitu pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden.

Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota; Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota.

Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota.

Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota.

Keenam, pilihan-pilihan keserentakan lain sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

Baca juga: Pimpinan Baleg: Revisi UU Pemilu agenda krusial DPR 2021

Isu krusial kedua dalam RUU Pemilu adalah terkait ambang batas parlemen dan ambang batas parpol mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Untuk ambang batas parlemen, usulan yang mengemuka adalah 4—7 persen, dan ambang batas pengajuan capres, yaitu 20 persen. Ada usulan 20 persen kursi parlemen dan 25 persen dari suara sah nasional. Namun, ada yang menginginkan agar presidential threshold tersebut berubah, yaitu minimal 10 persen suara nasional dan sekitar 15 persen suara sah nasional.

Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI Willy Aditya menilai Indonesia tidak punya skema lain secara alamiah dan politis untuk melakukan pematangan dan konsolidasi demokrasi tanpa meningkatkan ambang batas.

Willy sudah berdiskusi dengan berbagai pihak terkait cara apa untuk mematangkan demokrasi Indonesia dengan pasar politik yang skala tinggi dan liberal. Maka, salah satu pilihan yang rasional adalah meningkatkan ambang batas terus-menerus.

Isu krusial ketiga adalah lokasi kursi tiap daerah pemilihan (dapil) atau district magnitude. Dalam RUU Pemilu, district magnitude dibuat sebesar 3—8 kursi untuk DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Besaran kursi per dapil itu berbeda dibandingkan Pemilu 2019, yaitu sebesar 3—10 kursi.

Pada Pemilu 2004, alokasi kursi di dapil sebesar 3—12 kursi, lalu jumlahnya dikecilkan pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, yaitu alokasi kursi di dapil dikecilkan menjadi 3—10 kursi.

Banyak pihak meyakini bahwa alokasi kursi yang makin kecil di tiap dapil akan membentuk sistem kepartaian yang efektif sehingga hanya partai politik yang memiliki basis dukungan yang besar di daerah pemilihan yang akan mendapatkan kursi.

Isu krusial keempat adalah terkait dengan metode konversi suara partai menjadi kursi apakah menggunakan sainte lague atau kuota hare. Isu krusial kelima terkait dengan sistem pemilu apakah terbuka atau tertutup. Namun, sejauh ini fraksi-fraksi di DPR tetap mengusulkan tetap menggunakan sistem terbuka.

Baca juga: Anggota DPR: 6 isu krusial di RUU Pemilu perlu dimatangkan

4. Calon Kapolri

Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis akan memasuki masa pensiun pada bulan Februari 2021 sehingga perlu sosok penggantinya untuk menduduki posisi nomor satu di Korps Bhayangkara tersebut.

Sesuai dengan aturan UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Presiden memiliki hak untuk mengangkat nama calon Kapolri yang diajukan kepada DPR RI untuk diminta persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan tersebut, DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan, yang akan dilakukan Komisi III DPR.

Dalam UU No. 2/2002 Pasal 11 Ayat (1) disebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR RI. Ayat (2) disebutkan bahwa usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR RI disertai dengan alasannya.

Selain itu, dalam Pasal 38 Ayat 1 (b) disebutkan bahwa Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Saat ini Komisi III DPR RI menunggu surat presiden (surpres) terkait dengan nama calon Kapolri yang diajukan kepada DPR RI untuk dimintai pertimbangan dan dilakukan uji kelayakan.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan bahwa Komisi III DPR menunggu supres tersebut baru bisa menjadwalkan waktu pelaksanaan uji kelayakan.

Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa Komisi III DPR akan melaksanakan rapat internal pada tanggal 13 Januari membahas mekanisme uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri. Rapat tersebut dijadwalkan usai DPR mengakhiri masa reses dan memulai Masa Persidangan III pada hari Senin (11/1).

Baca juga: Komisi III bahas mekanisme uji kelayakan calon Kapolri 13 Januari

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021