Apa yang diketahui kasih tahu semua sama penyidik biar dibongkar semua sama KPK. Gubernur dan Bupati Kaur harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan jangan berbohong
Bengkulu (ANTARA) - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Puskaki) Bengkulu Melyansori meminta Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Bupati Kaur Gusril Pausi terbuka soal data perizinan ekspor benur di daerah itu.

Menurutnya, keterangan kedua kepala daerah itu akan membantu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut perkara dugaan suap oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha, dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya pada tahun 2020.

"Apa yang diketahui kasih tahu semua sama penyidik biar dibongkar semua sama KPK. Gubernur dan Bupati Kaur harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan jangan berbohong," kata Melyansori di Bengkulu, Senin.

Melyansori menegaskan, Puskaki Bengkulu akan mendukung penuh KPK mengusut perkara dugaan suap dan membongkar siapa-siapa saja pihak yang ikut menerima uang dari ekspor benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo.

Apalagi, kata dia, tersangka Suharjito yang merupakan Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) dalam keterangannya kepada penyidik KPK menyebut jika dirinya tidak hanya menyuap Edhy dan staf khususnya di KKP saja, tetapi juga memberikan uang kepada pihak tertentu di beberapa wilayah di Indonesia untuk memperlancar usahanya.

Baca juga: KPK periksa Gubernur Bengkulu dan Bupati Kaur

Baca juga: KPK panggil Gubernur Bengkulu dan Bupati Kaur pada Senin


"Kita dukung KPK untuk mengusut pengakuan-pengakuan dari pihak yang telah diperiksa ini. Mudah-mudahan penelusuran itu membuka kemana saja aliran uang dugaan suap itu," ucap-nya.

Menurutnya, KPK harus menunjukkan keseriusannya dalam mengusut kasus ini. Sebab, sebelumnya ada beberapa fakta persidangan dalam kasus tindak pidana korupsi di Bengkulu yang ditangani KPK saat ini justru tidak ada kejelasan.

Misalnya, kata dia, dalam persidangan kasus suap yang melibatkan mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti pada 19 September 2017 yang mendudukkan Jhony Wijaya (pemberi suap) sebagai terdakwa.

Dalam persidangan itu, salah satu saksi yaitu Staf administrasi PT. Rico Putra Selatan Haris Taufan Tura menyebut ada uang suap yang diberikan kepada pejabat Dinas PUPR Kota Bengkulu sebagai "fee" atas proyek yang dimenangkan.

"Mestinya fakta persidangan itu ditelusuri oleh KPK. Tetapi hingga saat ini tidak ada tindaklanjut-nya dan ini menjadi catatan kami agar dalam kasus ini (suap benur) KPK harus benar-benar mendalami keterangan-keterangan dari para pihak yang diperiksa," papar-nya.

Sebelumnya, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Bupati Kaur, Bengkulu Gusril Pausi memenuhi panggilan penyidik KPK pada Senin (18/01) setelah pada panggilan pertama keduanya tidak hadir.

Keduanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Edhy dalam penyidikan kasus suap oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha, dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya pada tahun 2020.

Dalam kasus ini, selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya, yakni staf khusus Edhy sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Safri (SAF), staf khusus Edhy sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Andreau Pribadi Misata (APM).

Selanjutnya, Amiril Mukminin (AM) dari unsur swasta/sekretaris pribadi Edhy, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD), Ainul Faqih (AF) selaku staf istri Edhy, dan Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT).

Edhy diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan "forwarder" dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.

Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benih lobster itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri senilai total Rp9,8 miliar.

Selanjutnya, pada tanggal 5 November 2020, Ahmad Bahtiar mentransfer ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul sebesar Rp3,4 miliar untuk keperluan Edhy dan istrinya, Iis Rosita Dewi, serta Safri dan Andreau.

Uang itu diduga untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istri-nya di Honolulu, AS pada tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp750 juta, di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, serta baju Old Navy.

Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima 100.000 dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.

Baca juga: KPK panggil ulang Gubernur Bengkulu, setelah surat belum diterima

Baca juga: Gubernur Bengkulu bantah dapat panggilan KPK sebagai saksi

Baca juga: Bupati Kaur Gusril Pausi bantah disebut mangkir panggilan KPK


Pewarta: Carminanda
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021