Sebagai pengusaha, kami tentu ingin meningkatkan kesejahteraan para pegawai berdasarkan kemampuan perusahaan. Tapi besaran UMK di Kabupaten Bogor sungguh berat jika juga diterapkan untuk kegiatan padat karya seperti buruh garmen yang rata-rata berpen
Jakarta (ANTARA) - Pengusaha dan pegawai industri tekstil berharap sektor usaha tersebut tetap eksis beroperasi di Indonesia dan tidak perlu relokasi di saat kondisi sulit akibat pandemi dan besaran UMK di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

“Sebagai pengusaha, kami tentu ingin meningkatkan kesejahteraan para pegawai berdasarkan kemampuan perusahaan. Tapi besaran UMK di Kabupaten Bogor sungguh berat jika juga diterapkan untuk kegiatan padat karya seperti buruh garmen yang rata-rata berpendidikan SD sampai SMP,” kata General Manajer PT Fotexco Busana International Yan Mei Phang dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan dirinya meminta kepada pihak yang berkepentingan dalam penentuan UMK bahwa kebijakan terhadap upah mereka yang bekerja di bagian padat karya seperti pekerja garmen harus diberi pengecualian karena faktor keahlian dan pendidikan para pekerja yang rata-rata hanya setingkat SD dan SMP.

Menurut Yan Mei, permasalahan upah minimum kabupaten/UMK yang sangat tinggi dan sangat berat untuk dipikul pengusaha akan berdampak terhadap pesanan barang dari luar negeri karena calon pembeli dari luar tidak akan bersedia membuat pesanan kepada perusahaan yang tidak mampu membayar pekerja sesuai UMK.

"Pengangguran di Kabupaten Bogor sudah saja mencapai 14,26 persen dan saat ini pengusaha dan para pekerja yang bekerja di perusahaan adalah pihak yang benar-benar mengetahui kondisi perusahaan masing-masing,” katanya.

UMK di Kabupaten Bogor dan Purwakarta saat ini merupakan yang tertinggi di banding daerah lain di Jawa Barat, yaitu masing-masing Rp4.217.206 dan Rp4.173.569, lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Bandung sebesar Rp3.742.276.

Jurubicara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat (PPPTJB) Sariat Arifia, mengatakan Kantor Berita Korea Selatan, Yonhap beberapa waktu sempat mengangkat isu kenaikan drastis UMK di Kabupaten Bogor dan Purwakarta yang berdampak terhadap banyak perusahaan garmen yang sebagian besar milik pengusaha Korea Selatan.

“Dalam sembilan tahun terakhir, terdapat kenaikan sampai 300 persen upah di Jawa Barat dan hal ini membuat perusahaan garmen sangat kesulitan, akibatnya perusahaan Korea Selatan memilih tutup dan sekarang tersisa 258 dari jumlah 317 sebelumnya. Pandemi COVID-19 yang belum berakhir membuat kondisi semakin sulit,” kata Sariat.

Seorang pekerja di bagian gudang PT GA Indonesia yang berlokasi di Cibinong Rerie, mengakui bahwa sepanjang 2020, sama sekali tidak ada pesanan produk. Akibatnya, pabrik yang salah satunya produknya adalah merek Lacoste itu memangkas jumlah buruh dari 2.000 orang menjadi hanya 800 orang.

“Beruntung kami sempat menerima pesanan APD (alat pelindung diri) dari Kemenkes dan BNPB sebanyak 12 juta potong. Tapi sebagian dari APD tersebut sekarang lebih banyak ditumpuk di gudang,” katanya.

Baca juga: Pengusaha berharap industri garmen bisa diselamatkan saat pandemi

Baca juga: Sektor hulu-hilir terintegrasi, Kemenperin kerek ekspor industri TPT

Baca juga: Pacu produktivitas, Kemenperin bantu mesin UPT Tekstil Majalaya

Baca juga: Pelaku industri tekstil minta pemerintah atur importasi pakaian jadi

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021