Apakah itu cukup di zaman sekarang ini, ketika patogen bisa menyebar begitu cepat ?
Jenewa/London (ANTARA) - Pandemi COVID-19 dapat menjadi katalis untuk reformasi yang sangat dibutuhkan dalam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti bencana nuklir Chernobyl pada tahun 1986 yang mendesak adanya perubahan penting dalam agensi nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana dikatakan salah satu ketua panel peninjauan independen.

Panel yang dibentuk untuk menyelidiki respons global atas pandemi virus corona itu menyebut WHO kurang bertenaga, kekurangan dana dan memerlukan reformasi mendasar untuk memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk merespons dengan lebih efektif terhadap wabah penyakit mematikan. "Kami di sini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk membuat rekomendasi konkret untuk membantu dunia merespons lebih cepat dan lebih baik di masa depan," kata salah satu ketua panel, mantan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, kepada wartawan, Selasa (19/1).

Baca juga: Korban meninggal COVID seluruh dunia melebihi dua juta
Baca juga: Tim WHO tiba di Wuhan untuk selidiki asal-usul COVID-19


Laporan panel tersebut mengatakan pada Senin bahwa para pejabat China seharusnya menerapkan langkah-langkah kesehatan publik dengan lebih ketat pada bulan Januari untuk mencegah pewabahan COVID-19 yang pertama, dan mengkritik WHO karena tidak mengumumkan status darurat internasional hingga 30 Januari.

"Ketika negara-negara anggota berpaling kepada WHO untuk kepemimpinan, mereka tetap kekurangan tenaga dan sumber daya untuk melakukan pekerjaan yang diharapkan," kata Johnson Sirleaf, menambahkan bahwa dia yakin WHO "dapat direformasi".

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kepada Dewan Eksekutif WHO pada awal perdebatan tentang laporan itu bahwa mereka "berkomitmen pada akuntabilitas" dan perubahan.

Banyak pemerintah di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa, telah menyerukan agar WHO direformasi atau direstrukturisasi di tengah kritik atas tanggapannya terhadap wabah COVID-19.

Badan kesehatan PBB itu juga diguncang oleh keputusan Amerika Serikat tahun lalu untuk menghentikan pendanaan, dan telah dituduh terlalu dekat dengan China pada fase pertama pandemi, tuduhan yang dibantah oleh WHO.

Johnson Sirleaf dan sesama ketua panel, mantan Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark, berulang kali mencatat bahwa kemampuan WHO untuk menegakkan nasihatnya, atau memasuki negara-negara untuk menyelidiki sumber wabah penyakit, sangat dibatasi.

Pandemi virus corona telah menunjukkan bahwa 194 negara-negara anggota WHO harus bergerak cepat untuk mereformasi, mendorong pendanaan, dan memberikan kekuatan bagi agensi yang berbasis di Jenewa itu untuk menegakkan regulasi kesehatan internasional.

"Apakah ini momen (Chernobyl) untuk WHO dan sistem kesehatan global?," tanya Clark, yang menambahkan bahwa negara-negara anggota WHO "akan harus menghadapi ini".

Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat telah menuduh WHO telah menjadi "China-sentris", yang dibantah oleh badan tersebut. Negara-negara Eropa yang dipimpin oleh Prancis dan Jerman telah mendorong agar kekurangan dana, tata kelola, dan kewenangan hukum WHO ditangani. Menggambarkan pendanaan WHO sebagai "menyedihkan", Clark mengatakan pada taklimat: "WHO tidak diberdayakan untuk tugas itu. Semuanya dilakukan atas dasar kerja sama."

“Apakah itu cukup di zaman sekarang ini, ketika patogen bisa menyebar begitu cepat ?,” ujarnya.

Sumber: Reuters

Baca juga: WHO: 100.000 kematian COVID akan terjadi setiap pekan 'segera'
Baca juga: Dirjen WHO: Nasionalisme vaksin buat dunia di ambang "bencana moral"


Penerjemah: Aria Cindyara
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021