kendala yang dihadapi dalam melakukan survei antara lain budaya yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah aib
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tengah menyiapkan pelaksanaan survei yang berkaitan dengan kekerasan yang dialami perempuan dan anak pada 2021.

"Tidak mudah mendapatkan data kekerasan yang secara representatif bisa menggambarkan kasus yang terjadi," kata Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Pribudiarta mengatakan kendala yang dihadapi dalam melakukan survei antara lain budaya yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah aib atau menganggapnya sebagai hal yang biasa sehingga korban enggan melaporkan.

Baca juga: Kemen PPPA: Dua dari tiga anak Indonesia pernah alami kekerasan

Survei yang tengah dipersiapkan pada 2021 adalah Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) dan Pengembangan Indeks Perlindungan Anak (IPA).

Pribudiarta mengatakan SPHPN menggunakan kuesioner yang berstandar internasional mengadopsi Pengalaman Hidup dan Kesehatan Perempuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirancang khusus untuk menggali informasi tentang kekerasan terhadap perempuan.

SPHPN 2016 dianggap berhasil dengan rerata respons mencapai 8,757 rumah tangga dari 9.000 rumah tangga sampel atau 97,3 persen. Sedangkan SNPHAR terakhir dilakukan pada 2018. Pada 2019, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga telah mengembangkan IPA yang dapat menunjukkan capaian pembangunan pelindungan anak yang dapat ditindaklanjuti pemerintah daerah.

Baca juga: Menteri PPA: ketahanan keluarga hasilkan generasi berkualitas

Selain itu, Kementerian PPPA juga telah menyediakan aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang memanfaatkan teknologi informasi untuk memfasilitasi integrasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan terdapat beberapa hambatan pelaksanaan SPHPN sebelumnya, misalnya penolakan wawancara, responden rakut menceritakan kasusnya atau merasa sensitif membicarakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya. Beberapa pertanyaan memang sangat sensitif karena menggali kekerasan seksual, emosinal atau psikologis, fisik, dan ekonomi.

"Berdasarkan pengalaman tersebut ada beberapa hal yang kami lakukan dan terapkan pada Sensus Penduduk 2020. Pertama, petugas wawancara memiliki pemahaman dan pengalaman kasus di lapangan; kedua, pelatihan petugas wawancara agar dapat memitigasi gangguan; ketiga, terkait keselamatan petugas di lapangan," katanya. (T.D018)

Baca juga: Menteri PPA: Perluas partisipasi perempuan dalam pembangunan

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2021