Ini masalah kesadaran, pemerintah sudah menyediakan tempat sampah, tapi kalau masyarakat tidak begitu peduli, sulit juga.
Ambon (ANTARA) - Hari sudah semakin sore, tapi suasana masih ramai dengan suara-suara obrolan dan tawa renyah beberapa orang remaja di halaman belakang sebuah rumah sederhana berukuran 6x4 meter di Dusun Wailete, Desa Hative Besar, Kota Ambon, Kecamatan Teluk Ambon.

Para remaja ini sibuk memilah dan menyusun berbagai sampah rumah tangga, mulai dari kemasan bekas makanan ringan hingga kantung kresek belanjaan, sembari sesekali berkelakar ringan.

Sampah plastik yang sudah dibersihkan, mereka susun di sudut halaman. Sampah-sampah itu dibersihkan untuk didaur ulang menjadi barang baru yang bisa dipakai lagi.

Kegiatan ini menjadi aktivitas lain bagi sebagian remaja di Dusun Wailette. Mereka secara sukarela bergantian membantu membersihkan dan mengatur ulang sampah plastik yang dikumpulkan dari berbagai lokasi di Ambon.

Di antara para remaja yang sedang membersihkan dan mengatur sampah-sampah plastik, tampak seorang pemuda juga sibuk melakukan hal yang sama.

Dia adalah Georgie Manuhuwa atau akrab disapa Joe, seorang pegiat lingkungan yang aktif mengkampanyekan bahaya sampah plastik bagi alam.

Duduk lesehan tanpa alas di atas tanah, kepala Joe menunduk serius, tangannya bergerak cepat mencuci dan melepaskan label puluhan botol plastik kemasan air mineral berukuran satu liter yang menumpuk di samping kirinya.

Botol plastik yang sudah bersih, ia pindahkan ke sisi kanannya. Botol-botol tersebut nantinya akan disusun ulang sesuai kategori dan jenisnya.

"Ini mau dibuat eco brick, jadi harus dibersihkan dulu sebelum dipakai," katanya di Ambon, Senin sore.

Nama Joe cukup dikenal di kalangan muda Kota Ambon. Ia banyak terlibat kegiatan kepemudaan dan tergabung dalam komunitas maupun gerakan yang berkaitan dengan perdamaian.

Dilahirkan di Ambon pada 5 Juli 1984, Joe merupakan lulusan Pendidikan Agama Kristen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon. Sehari-hari ia bekerja sebagai sekretaris majelis jemaat di Gereja Souhuru Klasis Pulau Ambon Utara.

Kampanye pengurangan penggunaan plastik guna menghindari peningkatan jumlah sampah plastik ke lingkungan telah menjadi bagian dari aktivitas Joe sejak tahun 2017.

Meski hanya bergerak seorang diri, aksi Joe mendapat perhatian banyak orang. Ia kerap diundang sebagai pembicara di kampus-kampus, juga komunitas dan kelompok masyarakat untuk mensosialisasikan ancaman limbah plastik bagi dan penanganannya.

Upayanya ini juga telah memberikan dampak perubahan yang cukup siginifikan bagi wilayah tempat ia tinggal, bahkan mempengaruhi kebijakan desa terkait penanganan sampah plastik.

Baca juga: Berperang dengan sampah plastik di perairan Maluku Tengah

Memulai dari sendiri

Meminjam kata-kata bijak novelis Rusia Leo Tolstoy "Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri", maka membuat perubahan memang harus dimulai dari diri sendiri.

"Saya dulu tidak terlalu menganggap plastik sebagai masalah serius dan tidak menyadari bahayanya bahkan berdampak pada global warming," kata Joe.

Ia mengaku mulai berpikir untuk anti plastik sejak diajak ikut membantu beberapa kegiatan Green Moluccas, sebuah organisasi lingkungan hidup di Ambon.

Dari sanalah Joe mulai belajar banyak hal tentang bahaya sampah plastik bagi lingkungan dan bagaimana penanganannya.

Ia lalu mengubah kebiasaan kecil dalam penggunaan plastik, seperti berhenti menggunakan kantong plastik saat berbelanja dan membawa sendiri kantung belanja berbahan kain.

Ia tak lagi membeli air mineral kemasan, tapi memilih membawa air minum dari rumah menggunakan termos (tumbler), juga menyiapkan sedotan berbahan baja nirkarat atau stainless steel di tasnya, sehingga bisa digunakan saat dibutuhkan.

Perubahan kecil yang ia lakukan ini ternyata turut mempengaruhi beberapa teman di komunitasnya, mereka mulai tertarik mengikuti kebiasaan Joe untuk menghindari penggunaan plastik.

"Awalnya saya sering dianggap aneh karena selalu menolak menggunakan sedotan plastik, dan sudah membawa sendiri di tas," ujarnya.

Gerakan "diet plastik" ini pun coba ia tularkan kepada keluarga di rumah, tapi tak semudah yang ia bayangkan. Mamanya terutama, sedikit terganggu dengan larangan menggunakan kantong kresek.

"Meyakinkan keluarga sendiri jauh lebih sulit daripada meyakinkan orang lain, karena memang tidak mudah juga menghindari penggunaan plastik, terutama kantung kresek saat belanja barang-barang kecil di kios atau pasar," kata Joe sambil tertawa.

Tak langsung mendapat respon positif dari keluarga, tak membuat Joe patah semangat. Ia melakukan aksi yang jauh lebih ekstrem, yakni dengan membawa pulang beragam sampah plastik yang ditemuinya di jalan.

Tak sampai di situ saja. Setiap akhir pekan, Joe seorang diri turun membersihkan Kali Sahuru, kali di lingkungan tempat tinggalnya yang kerap meluap kala musim penghujan.

Limbah plastik yang menumpuk di kali ia kumpulkan dan dibawa ke rumah. Karena tidak punya tempat khusus untuk menampungnya, Joe menggunakan halaman rumah orang tuanya sebagai lokasi penampungan.

Aksi ekstremnya ini membuat Mamanya semakin berang dan membahas secara serius aktivitas Joe yang dianggap gila dan kurang kerjaan dengan anggota keluarga yang lain.

Pembicaraan serius tersebut akhirnya membuka kesempatan bagi Joe untuk menjelaskan secara mendetail ancaman sampah plastik bagi lingkungan, dan mengubah cara pandang keluarganya terhadap penggunaan plastik.

"Semula Mama yang paling ekstrem melarang, sekarang beliau malah jadi kebiasaan kalau ketemu sampah plastik di jalan pasti dipungut dan dibawa pulang ke rumah," ujarnya.

Membuat perubahan memang tak semudah membalik telapak tangan, tapi kampanye dan aksi yang dilakukan Joe secara nyata untuk menyelamatkan lingkungan perlahan-lahan mampu menggerakkan orang-orang di sekitarnya.

Tak hanya keluarga, aktivitasnya berburu sampah plastik secara bertahap mendapat perhatian warga sekitar.

Warga mulai berhenti membuang sampah ke Kali Sahuru, mereka juga tergerak untuk bergantian gotong royong membersihkannya tiap akhir pekan. Aktivitas ini kemudian dijadikan sebagai agenda setiap pekan oleh pemerintah desa setempat.

Baca juga: Kelestarian lingkungan laut di Malut harus dijaga, imbau DKP

Beta Bank Sampah

Ancaman serius sampah plastik terhadap alam dan kelangsungan hidup manusia menjadi perhatian serius banyak pihak secara global. Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai satu dari lima negara penghasil limbah plastik terbesar di Asia.

Kurangnya public awarness atau kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya diduga menjadi masalah utama dalam peningkatan produksi sampah di Indonesia.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dirilis pada Februari 2019 menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan sedikitnya 64 juta ton timbunan sampah setiap tahunnya.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada Juni 2020 menyebutkan timbunan sampah di Indonesia untuk tahun 2020 ditaksir akan sebesar 67,8 juta ton. Itu artinya terjadi kenaikan produksi sampah sebanyak 3,8 juta ton dalam setahun.

Di Ambon, ancaman limbah plastik juga tidak bisa dipandang sepele begitu saja.

Hasil riset dari Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019 menemukan adanya mikroplastik pada pencernaan dua ekor ikan cakalang asap yang dijual di Desa Galala, Kecamatan Baguala.

Penelitian yang dilakukan P2LD LIPI sejak tahun 2017 ini, membuktikan bahwa limbah plastik secara nyata telah mempengaruhi biota laut yang menjadi bahan pangan manusia.

Pemerintah Kota Ambon tentu saja tidak hanya tinggal diam, kampanye kebersihan terus digalakkan melalui program Jumat pagi bersih lingkungan (Jumpa Berlian), tapi ini pun belum menjadi solusi yang cukup mumpuni karena masih banyak sampah yang ditemukan berceceran di jalanan dan selokan kota.

"Ini masalah kesadaran, pemerintah sudah menyediakan tempat sampah, tapi kalau masyarakat tidak begitu peduli, sulit juga. Edukasi bahaya sampah plastik perlu digencarkan juga," ujar Joe.

Dikatakannya, limbah plastik yang dihasilkan masyarakat dan tak tertangani adalah persoalan terbesar pencemaran lingkungan. Ibarat lingkaran setan, ujung-ujunganya juga akan kembali lagi kepada masyarakat.

Tempat pembuangan akhir (TPA) memang tidak selalu menjadi solusi terakhir untuk menangani limbah plastik. Saat ini semakin banyak metode daur ulang plastik untuk memanfaatkan kembali plastik yang tidak hancur dengan sendirinya di alam.

Metode inilah yang sedang dijalankan Joe. Ia membangun Beta Bank Sampah, program ini tidak hanya mengajak warga di lingkungan tempat tinggalnya mengumpulkan sampah plastik untuk didaur ulang, tapi juga menabung.

"Seratus lembar plastik dinilai Rp2.000, uangnya boleh diambil setelah mencapai minimal Rp50.000. Biasanya kalau nasabah pelajar menarik tabungan mereka pas semester baru untuk digunakan membeli peralatan sekolah," ucap Joe.

Selain menabung, program Beta Bank Sampah juga menjalankan beragam aktivitas lainnya, seperti sosialisasi dan edukasi penanganan limbah plastik, daur ulang hingga pembagian kantung belanja ramah lingkungan secara gratis kepada masyarakat.

Pada Maret 2020, Joe dengan program Beta Bank sampah membuat panggung dari sampah botol air mineral dan kemasan plastik untuk konser musik dan pameran foto di Ambon.

Kegiatan itu sempat menjadi sorotan, karena baru pertama kalinya perhelatan konser musik di Ambon menggunakan panggung dari sampah plastik, dan sudah pengaruhi warga untuk peduli bahaya sampah plastik.*

Baca juga: Celah ekonomi dari produk hijau

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021