Palembang (ANTARA) - Aktivis lingkungan Walhi Sumatera Selatan menilai restorasi atau kegiatan pemulihan gambut di lahan konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit terutama di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir masih rendah.

"Berdasarkan pantauan tim di lapangan, restorasi gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir masih rendah sehingga memerlukan perhatian pemerintah yang dapat mendorong perusahaan perkebunan tersebut melakukan kewajibannya sesuai dengan ketentuan," kata Manager Kampanye Walhi Sumsel, Puspita Indah Sari ketika mempublikasikan hasil pantauan tim lapangan gambut, di Palembang, Kamis.

Dia menjelaskan, sesuai Peraturan Presiden No.1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) ditargetkan dua juta hektare lahan gambut direstorasi hingga 2020.

Baca juga: BRGM sebut enam strategi percepatan rehabilitasi mangrove

Kegiatan restorasi gambut di Sumsel ditargetkan seluas 615.907 ha dari 1,4 juta ha luas lahan gambut di provinsi setempat.

Merujuk pada PP No.57/2016 Tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, penanggung jawab usaha dan usaha kegiatan yang melakukan pemanfaatan ekosistem gambut di dalam atau di luar areal usaha, wajib melakukan pemulihan sesuai dengan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.

Berdasarkan ketentuan itu, Walhi Sumsel melakukan pemantauan di lahan gambut yang dikelola sejumlah perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Tim melakukan pemantauan di lahan gambut PT Waringin Agro Jaya, PT Gading Cempaka Graha, PT Kelantan sakti, PT Rambang Agro Jaya, PT Sampoerna Agro Tbk, dan PT Tempirai Palm Resource.

Perusahaan tersebut berada di kawasan hidrologi gambut yang sama yakni Sungai Burnai dan Sungai Sibumbung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Baca juga: Riau masih jadi prioritas restorasi gambut dan mangrove

Hasil pantauan di kawasan gambut yang dikelola sejumlah perusahaan tersebut, restorasi tidak dilakukan secara serius, ada perusahaan yang tidak membuat sekat kanal, ada yang membuat namun jumlahnya tidak sesuai ketentuan, bahkan ada lahan gambut yang terbakar berulang pada setiap musim kemarau.

Melihat fakta lapangan itu, harus ada keseriusan dari pemerintah untuk melakukan pemantauan dan evaluasi perizinan perusahaan yang tidak melakukan restorasi dengan baik dan lahannya terbakar berulang.

Kemudian harus ada keterbukaan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Restorasi gambut (BRG) terkait capaian restorasi gambut dan penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankan restorasi sesuai ketentuan.

Jika kegiatan restorasi tidak berjalan sesuai dengan ketentuan, Provinsi Sumsel selalu dihadapkan ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada setiap musim kemarau dan bencana hidrometeorologi pada musim hujan, ujar aktivis Walhi Sumsel itu.

Sementara sebelumnya Dinamisator BRG Sumsel, DD Shineba mengatakan pihaknya akan memaksimalkan kegiatan pemulihan atau restorasi lahan gambut di tiga kabupaten dalam wilayah provinsi ini yang mengalami kerusakan akibat kebakaran pada musim kemarau beberapa tahun terakhir.

Lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, dan Kabupaten Musi Banyuasin, yang mengalami kerusakan cukup luas mencapai 500 ribu hektare lebih.

Lahan gambut yang tercatat mengalami kerusakan tersebut sebagian berada di areal perusahaan baik perusahaan perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Kegiatan restorasi lahan gambut yang dimulai sejak Mei 2017 hingga kini berjalan dengan baik.

Untuk lahan yang berada di kawasan perkebunan rakyat, restorasinya difasilitasi BRG sedangkan yang berada di areal konsesi atau izin pengelolaannya dikuasai perusahaan dikoordinasikan dengan mitra (perusahaan bersangkutan), kata Dinamisator BRG itu.

Baca juga: BRGM kedepankan pendekatan lintas sektor rehabilitasi mangrove 2021
Baca juga: Kepala BRGM sebut restorasi gambut dan mangrove saling berhubungan
Baca juga: WALHI luncurkan Tinjauan Lingkungan Hidup 2021

Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021