Tantangan yang dihadapi pekerja garmen di Jabar adalah ketika ancaman PHK massal akibat pengusaha tak mampu memenuhi upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Kabupaten Bogor dan Purwakarta yang lebih tinggi dibanding daerah lain yaitu sekitar Rp4,2 juta
Jakarta (ANTARA) - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah telah menemui perwakilan dari Paguyuban Buruh Garmen Jawa Barat (PBGJB) yang mengadukan nasib mereka terkait ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap 300.000 buruh di wilayah tersebut.

"Kami diterima langsung oleh Ibu Menaker Ida Fauziyah untuk menyampaikan aspirasi dan perjuangan kami yang selama bertahun-tahun mengalami keresahan dan kekuatiran karena kehilangan pekerjaan akibat penutupan dan relokasi pabrik," kata Ketua PBGJB Agung dalam siaran pers PBGJB yang diterima di Jakarta, Senin malam.

Menurut Agung, PBGJB yang beranggotakan 30.000 orang, kini menghadapi tantangan yang dihadapi oleh pekerja garmen di Jawa Barat, yakni ketika ancaman PHK massal akibat pengusaha tidak mampu memenuhi upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Kabupaten Bogor dan Purwakarta yang lebih tinggi dibanding daerah lain yaitu sekitar Rp4,2 juta.

"Buruh garmen yang mayoritas berpendidikan rendah tidak menuntut upah tinggi atau muluk-muluk, karena kelangsungan buruh agar tetap bekerja adalah hal paling utama, tapi pabrik atau pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai ketentuan pemerintah,” katanya.

Akibat dari kondisi itu, banyak calon pembeli dari luar negeri yang membatalkan pesanan dalam jumlah besar karena pihak pabrik tidak bisa memenuhi ketentuan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) terkait pemenuhan upah seperti yang ditetapkan pemerintah daerah.

Menurut dia dalam pertemuan itu Menaker Ida mengatakan bahwa telah dikeluarkan Surat Edaran dari Kementerian Ketenagakerjaan nomor 3 pada Maret 2020 yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum bagi pengusaha untuk menjamin keberlangsungan usaha, setidaknya selama pandemi.

Tapi, tegas Agung, banyak calon pembeli berpegang pada UMK yang diputuskan pemerintah daerah sehingga pihak pabrik tidak bisa mengandalkan surat edaran tersebut.

"Kalau menggunakan Surat Edaran dan bukan UMK yang ditetapkan pemda hal itu bisa dianggap sebagai penyimpangan sehingga calon 'buyer' bisa membatalkan pesanan dan ini tentu sangat berdampak terhadap para buruh," tambahnya.

Dia mengatakan bahwa realitas di lapangan menunjukkan tidak adanya perhatian terhadap buruh garmen yang bekerja di sektor padat karya dan kondisi mereka yang tidak bisa disamaratakan dengan sektor usaha lain.

Dalam pertemuan itu, pihak Kementerian Ketenagakerjaan menyarankan agar membuka forum membahas permasalahan tersebut dengan dihadiri perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kadin, DPRD, perwakilan pekerja dan buruh, pemerintah daerah serta Dewan Pengupahan, demikian Agung .

Baca juga: Imbas PHK, paguyuban buruh garmen Jabar adukan nasib ke Kemenaker

Baca juga: Riset ILO: ekspor garmen dari Asia turun hingga 70% akibat pandemi

Baca juga: Buruh garmen Asia hadapi ancaman perbudakan yang menguat saat COVID-19


Baca juga: Perusahaan garmen terpukul pelemahan rupiah

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021