Yang saya bayangkan implikasi pemilu dan pilkada digelar serentak, maka kompleksitas Pemilu 2019 yang pernah dihadapi berpotensi berulang di 2024
Jakarta (ANTARA) -
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengingatkan sejumlah implikasi yang akan dihadapi jika pemilihan umum presiden dan legislatif serta pemilihan kepala daerah serentak tetap dilaksanakan berbarengan di 2024.
 
"Yang saya bayangkan implikasi pemilu dan pilkada digelar serentak, maka kompleksitas Pemilu 2019 yang pernah dihadapi berpotensi berulang di 2024," kata Titi Anggraini dalam diskusi Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia, di Jakarta, Kamis.
 
Kompleksitas itu terjadi, karena regulasi pada undang-undang kata dia tidak mengalami perubahan, baik UU Pemilu maupun UU Pilkada.
 
Implikasi selanjutnya kata Titi penyelenggaraan serentak itu dikhawatirkan akan memperlemah tingkat identifikasi partai politik dengan warga.
 
Karena, biasanya korelasi antara pemilih dengan partai politik itu intensitas-nya meningkat pada saat ada agenda elektoral.

Baca juga: Titi: Sangat disayangkan DPR tak lanjutkan pembahasan RUU Pemilu

Baca juga: Titi: Perlu RUU Pemilu untuk penguatan keterwakilan perempuan
 
"Kalau agenda elektoral-nya dalam 5 tahun hanya dalam 1 tahun saja aktivitas aktif maka partai politik dan warga akan semakin jauh dari interaksi satu sama lain," ucap dia.
 
Kemudian penyelenggaraan itu juga berimplikasi makin memperlemah keterlibatan partisipatoris warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
"Serupa dengan Pilkada 2020. Pemerintah akan berusaha maksimal agar prosedural pemilu dan pilkada bisa berjalan baik. Namun kompleksitas pemilu bukan prosedural, namun juga substantif," ujarnya.
 
Kemudian, Mahkamah Konstitusi kata dia akan menjadi sandaran perubahan pengaturan pemilu (menguatnya yudisialisasi politik dalam tata kelola pemilu).
 
Titi mengingat meskipun pemilu bukanlah satu-satunya poin pengukuran indeks demokrasi, namun penyelenggaraan pemilu di Indonesia sangat mempengaruhi dari indeks demokrasi.
 
"Tetapi kalau kita lihat dari variabel indeks demokrasi penyelenggaraan pemilu itu menyumbang kontribusi skor yang tinggi yaitu 7,92. Jadi bisa dikatakan kalau kita bicara pergaulan internasional pemilu itu menjadi salah satu instrumen diplomasi demokrasi kita," ujarnya.

Baca juga: F-Demokrat bantah ikut setujui RUU Pemilu tidak dibahas

Baca juga: Komisi II sepakat tidak lanjutkan pembahasan RUU Pemilu

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021