Jakarta (ANTARA) - Ada satu masa ketika sebuah warung kelontong mungil di salah satu sudut Perumahan Pondok Surya Mandala, Bekasi, Jawa Barat, mengurangi penerangan lampunya.

Papan nama warung bertuliskan Toko Merah di depan, cahayanya tak selalu terang. Biaya listrik kian mahal sementara orang beli semakin bisa dihitung dengan jari.

Slamet, sang pemilik toko, tersenyum kecil melihat tumpukan barang dagangan yang kian berserakan, menjuntai dari langit-langit hingga menyebar di lantai, penerangan seadanya, bahkan untuk mencari lokasinya pun menjadi semakin sulit, karena tersembunyi di sudut yang tak terlihat.

Kondisi warung berukuran 2 x 3 meter ketika itu memang hampir sama dengan warung – warung pada umumnya saat itu.

Namun nasib membawa toko itu ke takdir yang tak disangka-sangka justru ketika era digital banyak menyapu warung serupa.

Faktanya, digitalisasi telah mengubah wajah Toko Merah menjadi sebuah toko modern yang tak mengenal batas pasar.

Slamet yang lahir kelahiran Karanganyar, Solo, Jawa Tengah ini butuh setidaknya 4 tahun untuk mengubaj warung tradisionalnya menjadi sebuah toko modern.

Transformasi warung menjadi toko merupakan buah dari kombinasi sikap positif seorang Slamet dimasa awal usahanya, mulai dari sikap berani keluar dari zona nyaman, terbuka pada perubahan, rajin menggali ilmu baru, dan keinginan kuat untuk maju.
Baca juga: UMKM yang beralih ke digital lebih bertahan di masa pandemi
Baca juga: Pemerintah gandeng asosiasi fintech genjot ekonomi digital nasional


 
Pengunjung bertransaksi menggunakan TapCash BNI pada Showcase Cinta Produk Nusantara di Lobby Grha BNI, Jakarta, Senin (6/7/2020). Showcase Cinta Produk Nusantara merupakan bagian dari perayaan HUT ke-74 BNI yang juga mendukung Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia dengan mengajak UMKM untuk Go Online dan memasarkan produknya pada website www.bunganusantara.id. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/pras.


Awal merintis

Usaha warung mulai dijalankan Slamet bersama istrinya sejak 2005. Waktu itu modal awalnya adalah Rp1,5 juta. Pada hari pertama berjualan, omzet jualannya mencapai Rp200.000.

“Itu besar sekali, bandingkan dengan modalnya. Saya sangat bersyukur, baru buka sudah dapat Rp200.000. Waktu itu, warga di sekitar warung menyebutkan dengan Warung Merah karena dicat merah. Setahun kemudian dari laba yang ada, kami tambah stok barang,” ujarnya.

Saat itu, toko-toko ritel modern tumbuh menjamur sebagai waralaba dimana-mana, termasuk di kawasan sekitar Warung Merah.

Namun, Slamet tidak gentar, dengan bekal berbagai kursus dan bimbingan berbagai pihak yang telah dia dapatkan sebelumnya benar – benar dia terapkan bersama istri tercinta.

Bekal ilmu untuk mengubah warung sederhana dan tradisional menjadi toko modern yang terang benderang, tertata rapi, bersih dan nyaman bagi pembeli telah dia miliki, hingga Slamet berani menambah luas tokonya.

Pada 2009, warung kecil itu berubah menjadi sebuah toko, dan nama pun berubah menjadi Toko Merah.

Kisah bisnis Slamet selama 16 tahun merupakan potret perjalanan sebuah warung yang bertransformasi dalam menghadapi berbagai tantangan dan kendala. Termasuk pada saat Slamet membutuhkan dukungan dana untuk modal memperbesar warungnya.

Ia kemudian mencari dukungan perbankan dan kala itu BNI memberinya peluang sehingga Warung Merah bertransformasi menjadi Toko Merah setelah bangunannya diperluas dengan dukungan Kredit Usaha Rakyat (KUR) BNI senilai Rp400 juta. Ia pun menjadi UMKM binaan BNI dalam program Agen46.

Pandemi COVID-19 yang melanda sempat melumpuhkan bisnisnya ketika jumlah pembeli yang datang ke toko berkurang signifikan, transaksi menurun, pendapatan pun kena imbasnya.

Namun, semangat tinggi Slamet tidak kendur. Dia menangkap peluang dengan menjual fasilitas pendukung protokol kesehatan, mulai dari alat pencuci tangan, dan hand sanitizer.

Tak hanya itu, Slamet menambah 2 pegawai yang bertugas mengantar barang yang dipesan pelanggan sehingga penjualan diarahkan ke online melalui aplikasi WhatApps. Bahkan kini, daya layanan Slamet pun meningkat dari radius 2 kilometer menjadi 4 kilometer.

“Akibat pandemi, pelanggan yang datang berkurang. Kami berupaya untuk berinisiatif mempertahankan pelanggan dan usaha. Sekarang kami kirim barangnya. Pelanggan cukup WA atau telepon, kami kirim barangnya. Jadi (penjualan) hanya turun sebentar, setelah itu naik lagi. Beruntung juga dengan BNI yang sudah memilih saya menjadi Agen46,” ujarnya.

Baca juga: UMKM harus melek digital untuk bertahan di era pandemi
Baca juga: Ekonom dorong UMKM adopsi teknologi agar bangkit dari pandemi

 
Seorang pengunjung membeli barang kebutuhan dengan menggunakan sistem pembayaran digital berupa kode Quick Response (QR) di toko swalayan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Maju Bersama di Tunjungtirto, Singosari, Malang, Jawa Timur, Selasa (22/12/2020). BUMDes setempat dengan bantuan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank BNI berupaya meningkatkan pendapatan desa dengan membangun unit usaha berupa Pujasera, toko swalayan berbasis pembayaran digital, bank sampah serta perpustakaan sehingga kini memiliki omzet hingga Rp300 juta per tahun. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc. (ARI BOWO SUCIPTO/ARI BOWO SUCIPTO)
 

Omzet 40 persen

Omzet Toko Merah juga mampu bertahan salah satunya dengan adanya kemudahan sistem transaksi elektronis sebagai Agen46.

Toko Merah difasilitasi mesin EDC oleh BNI, sehingga pembayaran bisa melayani transfer atau kirim uang.

Pelanggan tidak perlu kemana-mana, cukup ke Toko Merah saja. Banyak pelanggan yang mengirim uang lewat BNI di Toko Merah. Selain itu, Slamet juga melayani jual pulsa, membayar tagihan listrik, membayar tagihan telepon , PDAM, hingga token listrik.

Omzet tokonya pun meningkat hingga 40 persen termasuk dari transaksi elektronik. Slamet bahkan optimistis, ke depan dapat mencetak omzet digital yang dilakukan melalui mesin EDC BNI mencapau Rp50 juta dalam sebulan.

Slamet adalah 1 dari 170.158 Agen46 yang dikembangkan BNI dan tersebar di seluruh Indonesia hingga akhir 2020.

Agen46 merupakan mitra BNI (perorangan maupun badan hukum yang telah bekerja sama dengan BNI) untuk menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat (Layanan Laku Pandai, Layanan LKD dan Layanan e-Payment).

Dengan Agen46 ini, BNI berupaya mendekatkan pelayanan perbankan pada masyarakat, sekaligus menambah daya jangkau jasa keuangan yang selama ini sangat terfokus pada kantor-kantor cabang.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMINDO) Ikhsan Ingratubun, mengatakan, UMKM dipastikan akan bisa bertahan apabila mampu bertrasformasi.

Transformasi yang dimaksud adalah pertama, berbisnis secara digital. Kedua, bertransformasi dalam hal model bisnis yaitu tidak hanya memperdagangkan barang melainkan juga jasa.

Sementara itu, Zakir Mahmud, PhD, Ketua UKM Center Universitas Indonesia, menegaskan perlu lebih banyak perbankan tak hanya BNI yang membantu pembiayaan UMKM melalui berbagai program kredit.

Sementara UKM Center UI yang telah memiliki ribuan UMKM binaan, kata dia, siap membuka peluang kerja sama dengan perbankan untuk melakukan pendampingan agar kapasitas dan kapabilitas pelaku usaha mikro kecil lebih tahan menghadapi berbagai situasi dan kondisi termasuk saat pandemi.

Indonesia membutuhkan sinergi yang lebih erat untuk bersama kembali membangkitkan UMKM, sebab merekalah penopang perekonomian bangsa ini yang sebenarnya. Dan digitalisasi adalah solusi untuk mendongkrak kinerja mereka di era siber pandemi.
Baca juga: KemenkopUKM siapkan stimulus khusus bangkitkan UMKM
Baca juga: Ekonom: "Holding" ultramikro mudahkan mitigasi risiko kredit

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021