Palembang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendorong pelaku perhutanan untuk menghasilkan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto mengatakan provinsi Sumsel yang memiliki areal hutan terluas di Indonesia dengan luas 3,46 juta hektare atau sekitar 37 persen dari total areal provinsi tersebut masih minim dalam eksplorasi potensi hutan.

“Masih terbatas di produk kayu, pada berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan LHK justru banyak sekali,” kata Pandji.

Sementara ini, pengembangan produk HHBK sudah dilakukan melalui 14 Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Sumsel. Produknya tidak hanya menghasilkan barang yang bisa diperjualbelikan.

Sumsel juga mengembangkan ekowisata di sejumlah lokasi, seperti air terjun di KPH Bukit Nanti yang memiliki potensi air terjun dan air panas.

Pemerintah terus mendorong pengembangan HHBK ini karena dapat menyumbang pendapatan bagi negara.

Ia mencontohkan produk madu hutan yagn dapat memberikan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 6 persen dari setiap kilogram penjualannya.

Pemprov juga saat ini tengah membuat aturan berupa Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pengelolaan hasil hutan.

Dalam aturan tersebut nantinya, pemerintah akan mendapatkan bagian dari hasil hutan yang digarap oleh masyarakat.

"Seperti di Lakitan Bukit Sokong itu ada potensi tanaman durian Bawor lebih kurang 5 Hektare. Nanti dari hasil penjualan tersebut, 20 persennya akan masuk ke kas daerah. Sebab, penanaman pohon durian itu menggunakan dana APBD," kata dia.

Dana tersebut nantinya akan dikelola kembali untuk melestarikan tanaman hutan. Hasilnya juga nanti bisa dinikmati masyarakat. Apalagi Perdanya sudah ada, yakni Perda No 6 Tahun 2020 tentang Bangunan Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

Komisaris Daerah Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Sumsel Iwan Setiawan mengatakan, selama ini masih ada beberapa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang belum termanfaatkan dengan maksimal. Seperti madu, rotan, minyak kayu putih, kopi dan berbagai produk HHBK lainnya.

Pemerintah melalui UU Cipta Kerja pun telah mendorong pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang ada di seluruh Indonesia agar tidak hanya mengusahakan kayu saja dalam pengelolaan hutan tetapi dapat memanfaatkan HHBK yang belum tergali maksimal.

"Kami dari kalangan pengusaha sedang menggali potensi ini. Ada beberapa produk yang sudah dihasilkan. Seperti madu dan lainnya. Saat ini kita juga sedang mengembangkan produk lainnya yang sedang dalam skala uji coba," ujar Iwan. saat dibincangi usai acara Peresmian Pojok Tembesu di halaman Kantor Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Rabu (24/2).

APHI Sumsel memiliki 20 anggota perusahaan. Penggalian potensi HHBK juga telah masuk dalam agenda organisasi. Nantinya, pengembangan produk akan digencarkan bekerja sama peneliti di bidang kehutanan.

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Kehutanan Tabroni mengatakan, adanya Pojok Tembesu ini menjadi salah satu media bagi pemerintah untuk memamerkan hasil riset para peneliti mengenai produk kehutanan. Selama ini hasil riset dari 29 peneliti di Sumsel terbilang kurang tersosialisasikan, padahal setiap produk perlu pengembangan yang berbasis penelitian.

"Hasil riset bisa berupa konsep, buku hingga produk jadi. Terkadang wadah untuk menyosialisasikan ke masyarakat itu tidak ada. Kami harap dengan adanya Pojok Tembesu ini akan terbuka ruang yang lebar agar hasil hutan ini benar-benar bisa dipasarkan," kata dia.

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021