Anak yang dipaksa menikah akan mengalami kerentanan yang lebih besar dari aspek pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengajak seluruh pihak, terutama lembaga masyarakat untuk bersinergi melakukan sosialisasi masif dan intervensi pencegahan perkawinan anak melalui pendekatan budaya dan keagamaan.

"Mencegah dan menangani perkawinan anak merupakan tugas yang berat. Bila dilakukan bersama-sama, baik oleh pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat; saya yakin persoalan seberat apa pun dapat terselesaikan," kata Bintang melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

Bintang meminta agar lembaga masyarakat dapat bersinergi dalam menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak secara masif kepada masyarakat luas, serta melakukan intervensi melalui pendekatan agama dan budaya pada daerah yang memiliki kasus perkawinan anak tinggi disesuaikan dengan kondisi dan karakter masing-masing daerah.
Baca juga: KPPPA: Banyak upaya dilakukan untuk cegah perkawinan anak

Melalui sinergi lembaga masyarakat dan pendekatan agama dan budaya yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter masing-masing daerah, Bintang meyakini perkawinan anak dapat dicegah serta hak-hak anak dapat dipenuhi dan dilindungi.

"Dengan begitu, tujuan kita mencegah dan menurunkan perkawinan anak di Indonesia akan cepat terlaksana," tuturnya.

Menurut Bintang, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak dan pelanggaran terhadap hak anak serta hak asasi manusia. Anak yang dipaksa menikah akan mengalami kerentanan yang lebih besar dari aspek pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan.

"Dampak negatif perkawinan anak tidak hanya dialami oleh anak yang dinikahkan, tetapi juga pada anak yang dilahirkan sehingga berpotensi melahirkan kemiskinan antargenerasi," katanya.
Baca juga: KPAI: Pandemi picu kasus putus sekolah dan perkawinan anak

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 terdapat 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi daripada rata-rata nasional.

Karena itu, Presiden Joko Widodo telah menetapkan isu perkawinan anak sebagai salah satu dari lima agenda prioritas yang harus ditangani Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak hingga 2024.

Pemerintah telah memasukkan isu perkawinan anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74 persen pada akhir 2024.

Untuk mencegah perkawinan anak, pemerintah dan DPR juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan batas usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan paling rendah 19 tahun. 
Baca juga: Kemenko PMK: Perkawinan anak tidak membawa kemaslahatan

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021