Kehadiran polisi virtual tidak lantas mengekang masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya di media sosial.
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Literasi Digital dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Novi Kurnia berharap kepastian netralitas polisi virtual dalam memoderasi konten-konten negatif di dunia maya, terutama yang mengarah pada pelanggaran pidana.

"Virtual police sebagai sebuah aksi memoderasi ini bagus. Namun, ada catatan-catatan yang harus dipertimbangkan seperti posisi untuk bisa menjaga netralitas, objektivitas, dan keadilan. Jangan terus interventif," kata Novi Kurnia di Yogyakarta, Jumat.

Novi Kurnia menilai aksi moderasi konten pada pengguna media sosial merupakan langkah baik yang ditempuh kepolisian.

Kendati begitu, kehadiran polisi virtual harus tetap memperhatikan sejumlah aspek dalam pelaksanaannya, mulai dari posisi, proses, transparansi, perlindungan data diri, hak pengguna digital, hingga kolaborasi moderasi konten.

Baca juga: Pengamat: Perlu edukasi publik untuk ciptakan dunia maya yang sehat

Ia mengaku belum mengetahui secara detail bagaimana cara kerja polisi virtual dalam menjalankan pengawasan konten di dunia maya. Namun, diharapkan nantinya virtual police dalam tugasnya bisa netral dan berpihak untuk kepentingan umum, bukan industri, kelompok besar, maupun pemerintah.

Dalam pelacakan konten, menurut dia, perlu disesuaikan dengan platform masing-masing media sosial.

Penentuan sampel juga perlu diperhatikan apakah dengan sistem sampling atau sensus. Begitu pula dalam pelacakan, akan dilakukan parsial atau pada seluruh konten.

Selanjutnya, terkait dengan persoalan transparansi, menurut dia, pihak kepolisian harus menyosialisasikan atau mengedukasi pengguna media sosial tentang konten seperti apa yang dianggap sebagai konten negatif atau mengarah pada tindak pidana.

"Pengguna media wajib diberitahu konten seperti apa yang dianggap negatif," kata Novi.

Baca juga: Pakar: Polisi harus bisa memilah soal ujaran

Perlindungan data diri pengguna media sosial, kata Novi, juga menjadi poin penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program pengawasan virtual police.

Beberapa di antaranya data apa saja yang bisa dibuka, bagaimana jaminan perlindungan, dan mitigasi terhadap kebocoran data pribadi.

Novi meminta kepolisian tetap memperhatikan hak digital pengguna media sosial untuk menyuarakan aspirasi.

Ia lantas berharap kehadiran polisi virtual tidak lantas mengekang masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya di media sosial.

"Modelnya ini 'kan sistem peringatan, apakah dalam prosesnya mendapatkan hak baik sebelum dan sesudah dimonitor," katanya.

Terakhir yang tidak kalah penting, yakni kolaborasi dalam melakukan moderasi konten di media sosial sebagai upaya yang harus dilakukan bersama dengan para pakar terkait.

"Kolaborasi ini harus terus dibangun karena tidak hanya menjadi tanggung jawab virtual police saja, tetapi semua pihak, seperti lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan pegiat literasi digital perlu berkolaborasi dalam bagian peningkatan kompetensi literasi digital masyarakat Indonesia," katanya.

Baca juga: Ada pasal karet, Mahfud: Revisi UU ITE bisa dilakukan

Polri akan mengaktifan polisi virtual sebagai pencegahan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian dengan mengedepankan keadilan restoratif. Upaya ini merupakan penerapan pedoman dalam surat edaran Kapolri terkait ruang digital yang sehat.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono menjelaskan bahwa polisi virtual adalah salah satu upaya Polri dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak menyebar konten yang berpotensi melanggar hukum.

"Melalui virtual police, kepolisian memberikan edukasi dan pemberitahuan bahwa apa yang ditulis ada pelanggaran pidana, mohon jangan ditulis kembali dan dihapus," kata Argo.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021