Jakarta (ANTARA) - Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 memicu beragam penyesuaian dan kreasi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, termasuk dalam penyebaran nilai-nilai antikorupsi.

Penyesuaian dan kreasi tersebut mutlak dilakukan karena seperti amanat UU Nomor 19/2019 tentang KPK, salah satu tugas KPK adalah menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jejaring pendidikan seperti termuat dalam pasal 7 ayat 1 huruf c UU tentang KPK itu.

Artinya, KPK diminta untuk menyebarkan gerakan antikorupsi baik melalui jejaring pendidikan formal di tingkat PAUD, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi maupun sekolah kedinasan hingga jejaring pendidikan informal.

Namun seperti apa bentuk penyesuaian dan kreasi pembelajaran "ilmu" antikorupsi saat pandemi?

"Tidak mungkin orang KPK mengajar seperti guru-guru karena keterbatasan sumber daya sehingga tugas KPK sekarang adalah memastikan di sekolah-sekolah ada pendidikan antikorupsi yang diajarkan oleh para guru," kata Spesialis Diklat Antikorupsi, Sandri Justiana.

Menurut dia, KPK sudah pernah melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri hingga pemerintah daerah untuk menyiapkan panduan pelaksanaan pendidikan antikorupsi di sekolah.

Dari diskusi tersebut, disepakati salah satu cara implementasi pendidikan antikorupsi adalah dengan memasukkan materi antikorupsi ke dalam mata pelajaran yang ada atau biasa disebut insersi, misalnya ke mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

KPK pun menyiapkan media pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak didik mulai dari buku bacaan, film, lagu, hingga "board game".

Misalnya KPK membuat buku dongeng "Peternakan Kakek Tulus" merupakan buku pertama yang diterbitkan KPK pada 2007. Kemudian pada 2012, KPK berkolaborasi dengan Forum Penulis Bacaan Anak (FTBA) membuat karakter Si Kumbi, sebagai ikon antikorupsi untuk anak usia 4-9 tahun (PAUD-SD Kelas 3). 

Sedangkan untuk jenjang anak berusia 9-12 tahun (SD kelas 4-6), KPK mengembangkan karakter "Sahabat Pemberani" dalam bentuk film, kuartet, "board game", lagu, dan senam

KPK juga menyusun panduan penggunaan media pembelajaran bagi guru, komunitas, dan orang tua dalam mengajarkan pendidikan antikorupsi di tingkat PAUD, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi.

Selain itu, KPK juga berkolaborasi dengan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) dengan menyelenggarakan Gerakan Nasional Pembelajaran Aku Anak Jujur di 34 provinsi.

KPK juga mengadakan sertifikasi pelatihan untuk calon penyuluh antikorupsi di Pusat Pembelajaran Anti Korupsi (Anti-Corruption Learning Center) sehingga para guru maupun masyarakat dengan profesi lain tapi berminat untuk menjadi penyuluh antikorupsi punya sertifikat dan standar tertentu untuk mengajar baik di sekolah maupun di lapangan dengan metode yang variatif.

"Penyuluh tidak hanya untuk guru, tapi juga bisa dosen di perguruan tinggi, sekolah kedinasan, selain itu juga ada dari Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah atau APIP karena sesungguhnya bicara antikorupsi sekolah yang paling penting adalah lewat keteladanan, lewat pemodelan, guru diharapkan menjadi model untuk antri, tidak mengganggu pelayanan publik, membuang sampah pada tempatnya dan lain sebagainya," kata dia.

Ia mengakui KPK memang sudah membuat model empat kompetensi inti dalam pendidikan antikorupsi tapi yang paling penting adalah nilai-nilai antikorupsi yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil diajarkan dan diterapkan dan bukan hanya menjadi hapalan.

"Misalnya jujur dan disiplin saat praktikum kimia atau mengantri saat di kantin, tapi masih belum banyak guru yang paham bagaimana menyangkutnya pendidikan antikorupsi ke pelajaran fisik atau kimia atau pelajaran di luar PKn," kata dia.

Dengan kondisi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sejak 16 Maret 2020, maka penerapan pendidikan antikorupsi pun bergantung pada kreativitas guru.

Implementasi pendidikan antikorupsi
Kreativitas pun menjadi modal Tia Setiawati, guru PKn SMPN 1 Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat, saat mengajarkan nilai-nilai antikorupsi kepada para anak didiknya.

Mengajar di kelas VII dan IX, dia menceritakan menyampaikan materi antikorupsi pada awal tahun pembelajaran yaitu pada Juli 2020 yaitu soal nilai-nilai antikorupsi.

"Karena sekarang belajar 'online' jadi saya buat konsep dalam bentuk pdf kemudian dibagikan di 'google classroom' atau 'whatsapp group' kemudian anak-anak saya suruh baca selama 15 menit baru kami diskusikan di 'zoom' yang gratisan selama 30-40 menit," kata dia.

Dalam zoom tersebut Tia memberikan penjelasan selama sekitar 20 menit lalu bila ada anak didiknya yang ingin bertanya pertanyaan dapat disampaikan melalui "zoom" meski sangat singkat.

Ia mengaku untuk mengukur kemampuan mereka mengenai pemahaman nilai-nilai antikorupsi memang ia memberikan semacam uji kompetensi. "Tapi jangan dibandingkan kualitasnya dengan belajar tatap muka, jujur jauh menurun, jauh kualitasnya," kata dia. Karena itu, ia pun mencari cara kreatif untuk mempraktikkan nilai antikorupsi tersebut.

"Misalnya di awal pembelajaran saya suka ajak salat selama 15 menit, tapi saya tidak lihat mereka salat atau tidak tapi saya sampaikan 'Ibu tidak melihat kalian salat tapi kalian jujur kepada diri apakah benar-benar salat atau tidak tanpa harus menunjukkan foto atau video karena Allah melihat kalian," katanya.

Setelah memberikan konsep dalam satu kali pertemuan maka dalam pertemuan selanjutnya ada angket penilaian diri sendiri mengenai apa saja yang telah mereka lakukan baik melakukan salat atau tugas lainnya.

"Jadi memang materinya hanya satu kali di awal pembelajran, tapi penerapan 9 nilai itu sepanjang tahun, misalnya untuk nilai mandiri ditanyakan dalam angket apa yang sudah dilakukan pada hari ini atau melakukan pembagian tugas di rumah dengan anggota keluarga lain jadi nilai-nilai itu terus saya ingatkan," kata dia.

Ia mengaku anak didiknya banyak yang sudah mengalami kejenuhan dalam PJJ sehingga mereka tidak terlalu antusias ketika hanya diajarkan konsep, tapi sebaliknya saat diminta untuk praktik di rumah ternyata mereka lebih bersemangat seperti membuat video mencucui piring, mengepel rumah atau praktik-pratik sederhana lainnya.

Namun dia mengaku tidak memaksakan anak didiknya untuk mengirimkan video atau foto karena beberapa di antara mereka kadang mengalami kesulitan untuk membeli kuota.

"Punya kuota dan aktif mengirim video dan foto yang sesuai materi saja saja saya sudah sangat bersyukur dan saya anggap sudah sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal yaitu 78, apalagi kalau mereka mebuat dengan menggunakan aplikasi sudah sangat baik," kata dia.

Senada dengan dia, Kepala SMA Bina Insan Mandiri di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Wijaya Kurnia Santoso, mengatakan, menerapan materi antikorupsi saat pandemi gampang-gampang susah.

"Karena saya kepala sekolah, saya ajak guru-guru agar mencanangkan ini inovasi bukan hanya mencetak anak yang pintar tapi juga anak-anak yang berkarakter meski butuh proses karena hasilnya mungkin bisa dicapai 5-10 tahun mendatang," kata dia.

SMA Bina Insan Mandiri yang berbasis pondok pesantren itu lalu mulai mencanangkan sekolah integritas antikorupsi dengan sejumlah pendekatan.

Pendekatan pertama adalah dengan insersi melalui mata pelajaran di sekolah dan juga masa orientasi siswa baru pada awal tahun ajaran. Ada juga pelatihan bagi anggota OSIS untuk manajemen pengelolaan keuangan yang transparan.

"Insersi di mata pelajaran Bahasa Indonesia misalnya untuk kelas X adalah membuat puisi soal korupsi, di kelas XI membuat cerpen dan kelas XII membuat opini jadi sesuai dengan tingkat masing-masing anak," kata dia.

Tetapi untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, bertanggung jawab dan lainnya, dia juga meminta para siswa-siswinya jujur saat praktikum fisika, kimia atau biologi.

Dengan kondisi PJJ, dia mengaku menghadapi tantangan tersendiri karena melalui pelajaran disampaikan melalui pijakan zoom yang tidak semua anak didiknya yang berjumlah 340 orang itu mengaktifkan video mereka.

"Evaluasi yang kita gunakan akhirnya berupa 'self assessment' yang dibandingkan dengan capaian masing-masing siswa. Jadi misalnya mereka mengisi selalu tepat waktu mengerjakan tugas tapi guru lalu mengamati apakah memang benar-benar tepat waktu? Kami juga bekerja sama dengan orang tua agar dapat mendampingi putra-putrinya saat belajar meski tidak semua orang tua dalam melakukan hal ini," kata dia.

Namun dia mengatakan kontrol orang tua diperluka karena guru tidak dapat mengawasi seluruh kegiatan daring anak didiknya.

"Kerja sama dengan orang tua harus dilakukan karena penanaman nilai-nilai ini tidak hanya dari guru saja tapi juga dengan berinteraksi bersama orang tua, yang kita lakukan adalah bagaimana menanamkan nilai ke anak-anak bukan hanya mengejar angka pelajaran saja," kata dia.

Ia bertekad untuk dapat menyiasasi kondisi PJJ dengan agar materi yang diberikan guru tidak kalah dengan apa yang ditawarkan YouTube atau Google.

"Guru bukan sekadar menyampaikan materi pembelajaran karena mereka akan kalah dengan 'youtube' dan 'google', tapi peran guru mampu menjadi inspirasi untuk menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak melalui proses pembelajaran daring, termasuk dengan catatan harian dari orang tua untuk guru terkait kondisi siswa," kata dia.

Akhirnya belajar antikorupsi saat pandemi memang butuh niat dan kesamaan frekuensi bahwa antikorupsi itu bukan hanya konsep yang diucapkan tapi nilai-nilai yang terwujud dalam tindakan, baik guru, murid, kepala sekolah hingga para orangtua.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021