banyak kasus psikisnya dijatuhkan oleh keluarga sendiri
Makassar (ANTARA) - Stigma yang menganggap rendah kaum disabilitas masih terus terjadi khususnya bagi kaum perempuan disabilitas sehingga kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan kerja selalu kalah dengan perempuan normal.

Stigma merendahkan itulah juga bisa memunculkan diskriminasi, kekerasan hingga pelecehan seksual karena dianggap mereka lemah, tidak mungkin bisa memperjuangkan keadilan, dan mempunyai keterbatasan untuk bisa meraih pendidikan dan bekerja.

Namun, di Hari Perempuan Internasional (HPI) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret inilah, seharusnya menjadi momentum semua pemangku kepentingan untuk melihat sejauh mana kaum perempuan disablitas diberdayakan dan diberikan kesempatan yang sama agar harkat dan martabatnya tidak selalu direndahkan.

Apa yang dikaruniakan Tuhan atas kelengkapan panca indera seharusnya disyukuri dengan cara membantu mereka yang mengalami kecatatan. Minimal mulailah menghormati mereka sebagai sesama mahluk Tuhan, sehingga menyingkirkan sikap diskriminasi dan merendahkan.

Mirisnya saat ini banyak kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diabilitas justru dilakukan oleh orang-orang terdekat.  Bahkan, jika pun terjadi, banyak pihak keluarga yang enggan melaporkan kasus tersebut atau menarik laporannya.

Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel Maria Un menilai, keadilan bagi penyandang masih jauh dari harapan, namun ia meminta semua pihak untuk tidak kenal lelah memperjuangkan keadilan itu.

Ia menilai sistem dan budaya serta banyaknya kaum disabilitas yang tidak memperoleh pendidikan formal membuat kondisi ini bermuara pada sikap underestimate di tengah masyarakat.

Semakin ironi dengan kenyataan bahwa pendidikan penyandang disabilitas sangat rendah, utamanya mereka yang bermukim di desa dan jauh dari pusat kota. Hal ini berdampak pada keterbelakangan dan ketertinggalan mereka dalam memperoleh haknya.

Berbagai LSM termasuk HWDI sebagai komunitas yang bergerak dalam pendampingan, terus melakukan edukasi dan sosialisasi terkait pemahaman isu-isu penyandang disabilitas ke masyarakat guna meningkatkan sensitivitas bahwa penyandang disabilitas harus dijaga dan tetap dipenuhi hak-haknya.

Peningkatan sensitivitas di masyarakat dipastikan mampu mengurangi terjadinya pelecehan seksual pada disabilitas perempuan, apalagi jika orang tua berperan dalam mengontrol perilakunya.

Maka dari itu, pada wujudnya, pemerintah diminta tidak boleh berpangku tangan untuk menumbuhkan sensitivitas masyarakat. Termasuk memotivasi dan menyemangati keluarga penyandang disabilitas.

Masyarakat harus didorong mempunyai rasa empati misalnya meringankan beban para keluarga penyandang disabilitas, sebagai wujud rasa syukur keluarga mereka dikaruniai kesempurnaan fisik.

Baca juga: FBK 2021 berikan prioritas untuk pengusul perempuan-disabilitas

Sensitivitas pemerintah

Peningkatan sensitivitas atau kepedulian kepada penyandang disabilitas bukan hanya harus dilakukan pada masyarakat, namun sangat penting juga dilakukan pada aparatur pemerintahan terkait guna mengetahui secara jelas ragam disabilitas yang ada.

Oleh karena itu pendataan bagi penyandang diabilitas menjadi penting karena akan menjadi acuan perumusan program bagaimana melakukan pemberdayaan yang sesuai dengan kondisi setiap disabilitas.

Kehadiran aparatur pemerintah yang kooperatif dalam melihat dan memahami permasalah mereka juga sangat diperlukan karena mereka bukan hanya memerlukan penanganan secara kesehatan, namun juga sosial.

Penanganan sosial ini juga termasuk bagaimana menciptakan masyarakat yang peduli disabilitas dan menyadarkan bahwa kaum disabilitas adalah bagian dari masyarakat mereka yang wajib dipenuhi hak-haknya.

Maria juga sependapat jika program yang dijalankan pemerintah tidak sebatas pemberdayaan tetapi juga program bagi keluarga disabilitas dan kampanye perubahan perilaku masyarakat terhadap penyandang disabilitas.

HWDI Sulsel meminta agar setiap daerah khususnya Kota Makassar untuk segera memiliki data akurat penyandang disabilitas berbasis gender, kesehatan dan usia.

Selain itu juga penting untuk melakukan pendataan bagi perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan, baik yang perkaranya dilanjutkan atau diselesaikan secara kekeluargaan.

Pendataan ini penting untuk melihat potret perilaku masyarakat dan bagaimana mencari solusi untuk mencegah kekerasan itu tidak terulang dan pemulihan bagi korban kekerasan.

Dibutuhkan juga data kategori secara terpilah terkait jenis disabilitas seperti gangguan sensorik, penglihatan, gangguan psikososial, mengalami hambatan emosi dan perilaku lainnya.

Data yang akurat dinilai bisa mengurangi eksploitasi penyandang disabilitas, khususnya pada perempuan yang hidupnya banyak tergantung dari orang lain.

Jika tidak memiliki data terkait ragam disabilitas dan ragam kesehatannya, atau tidak dilakukan pendataan dengan baik maka mustahil melakukan intervensi tepat, jika tidak dibenahi dari data. Karena Kebutuhan disabilitas berbeda dan sangat berbeda," urainya.

Baca juga: Komnas Perempuan: Disabilitas rentan menjadi korban kekerasan

Diskriminasi berlapis

Perempuan sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan dalam hal tertentu kerap kali menjadi korban ketidakadilan, pelecehan, dan kekerasan, terlebih pada mereka penyandang disabilitas. Termasuk ketika hal ini dibandingkan dengan penyandang disabilitas dari kaum Adam.

Diskriminasi berlapis dianggap terus terjadi di lingkaran sosial disabilitas kaum Hawa. Kekurangannya dan kelemahannya seolah dijadikan alasan dan pembenaran perlakuan tidak adil, tidak senonoh hingga tidak bisa memperoleh haknya kerap mereka terima.

Ini pula yang dirasakan Rizkah, seorang tuna netra low vision yang saat ini mengajar di SLB A Yapti Makassar, sekolah khusus penyandang disabilitas netra.

Ia masih merasakan masih hidup dalam lingkaran diskriminasi berlapis selain diskriminasi sebagai sebagai seorang perempuan, ia juga mendapatkan diskriminasi sebagai seorang disabilitas.  “Sebenarnya ini sangat miris," ungkap perempuan 32 tahun ini.

Lebih dari itu, pengakuan di masyarakat dalam hal kesanggupan hidup normal seperti orang-orang pada umumnya masih terus menjadi momok yang semakin melemahkan, sehingga hanya sedikit dari kaum disabilitas yang bisa meraih mimpinya, salah satunya dalam mengenyam pendidikan.

Rizkah mengaku hanya sedikit dari kaum disabilitas perempuan di Sulawesi Selatan yang mampu melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat, termasuk keluarganya sendiri.

Keluarga dan masyarakat kerap memandang para disabilitas dari sudut pandangnya sendiri, tanpa melihat apa yang bisa dilakukan oleh mereka. Selanjutnya, mental pun kian terpuruk dan tidak bisa berkembang untuk bisa hidup lebih baik tanpa dibatasi kekurangan.

Sementara dalam kondisi disabilitas, mental dan psikologis tentu sudah berbeda dari orang-orang normal, ini semakin diperparah dengan diskriminasi dan tidak adanya pengakuan dari keluarga.

Seolah kaum disabilitas menjadi dua kali tekanan mental, pertama dari kondisi fisiknya dan kedua dari keluarga mereka sendiri yang menganggap anggota keluarga yang difabel harus mau “menurunkan” cita-citanya untuk meraih pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih tinggi.

 "Banyak kasus psikisnya dijatuhkan oleh keluarga sendiri," ungka Rizkah.

Padahal, menurut anggota Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Sulsel ini, keluarga harus mengambil peran dalam memicu dan menyemangati anggota keluarga disabilitas, terkhusus bagi perempuan yang berhak melanjutkan hidupnya.

Diskriminasi yang kerap diterima itu berbuntut pada masa depan sang anak disabilitas. Akibatnya, banyak yang tidak atau lambat sekolah dan banyak pula yang tidak menikah, karena dicap tidak mampu mengurus rumah tangga.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku kepentingan agar kampanye pemenuhan hak-hak kaum disabilitas khususnya perempuan juga bisa menyentuh para keluarga dan masyarakat terdekat karena dari merekalah mendapat dorongan untuk dapat sejajar dengan yang lain.

Baca juga: Butuh upaya kolektif hapus stigma negatif diskriminatif disabilitas
Baca juga: Diskriminasi kerja masih dialami penyandang disabilitas


 

Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021