Batam (ANTARA) - Maimunah jongkok di antara pohon-pohon cabai yang rendah, memilah buah yang merah dan dirasa sudah bisa dipanen.

Siang itu, Pulau Setokok di Kota Batam tidak sepanas biasanya, meringkankan langkah Maimunah petani cabai yang meyusuri satu pohon ke pohon lainnya untuk memetik cabai yang matang.

"Ini sedikit, kemarin lebih banyak," kata Maimunah sambil membetulkan caping biru yang dikenakannya.

Maimunah adalah warga Pulau Setokok yang memulai bertani sejak setahun bulan lalu. Ia lahir dari keluarg nelayan, seperti masyarakat pesisir lainnya.

"Kami orang Melayu, biasa nelayan. Ini coba-coba belajar pertanian," kata dia, yang menanam 900 pohon cabai di pulau penyangga Batam itu.
 
Petani di Pulau Setokok Kota Batam Kepulauan Riau memetik cabai merah, Kamis (25/3). (ANTARA/ Naim)


Mata pencarian warga yang tinggal di pesisir biasanya nelayan. Namun, ternyata tidak semua memiliki kemampuan melaut bertarung dengan gelombang tinggi dan arus yang kencang.

Yisdin misalnya. Ia mengaku tidak pandai mencari ikan di laut, meskipun keluarganya nelayan. Yisdin memilih bekerja di SPBU untuk menghidupi keluarganya, sampai sekitar tiga tahun lalu tertarik untuk mulai bertani.

Awalnya, ia hanya iseng mengunjungi teman yang bertani. Namun, setelah memperhatikan beberapa lama, mempelajari cara kerjanya, ia memutuskan untuk mencoba.

Di halaman rumahnya di Pulau Setokok, ia menanam 900 batang pohon cabai dan berhasil memanen dalam waktu sekitar tiga bulan.

Saat itu, harga cabai berah di Batam Rp20.000 per kg. Dengan panen sebanyak 80 kg, maka Yisdin mengantongi penghasilan Rp1.600.000 dalam sekali panen.

Dalam sebulan,  bisa panen hingga empat kali, dengan teknik yang ia pelajari sendiri dengan bertanya dengan petani lain.

Dengan keberhasilan itu, ia memutuskan untuk beralih menjadi petani dan aktif di kelompok tani. Kini dirinya memiliki 3.000 batang pohon cabai yang lahan sekitar satu hektare di Pulau Setokok.

Menurutnya, menanam cabai merah relatif lebih menjanjikan ketimbang bekerja. Karena modalnya pun tidak banyak, hanya untuk membeli cairan pembasmi hama.

Apalagi melihat keberhasilan petani lainnya yang mampu menghasilkan delapan ton cabai merah dalam sekali panen.

Panen cabai, bisa dilakukan dalam selang waktu empat hingga enam hari. Itulah yang membuatnya tergiur untuk membanting setir menjadi petani.

Namun, tentu saja setiap pekerjaan ada tantangannya. Dalam menanam cabai di Pulau Setokok, petani harus berhadapan dengan ulat, kutu kebo dan thrips jenis hama kutu putih.
Petani di Pulau Setokok Kota Batam Kepulauan Riau memetik cabai merah, Kamis (25/3). (ANTARA/ Naim)


Produksi berlipat

Wali Kota Batam Amsakar Achmad menjadi salah satu yang mengapresiasi keberhasilan petani di Pulau Setokok.

Bukan hanya mengubah mata pencarian dari nelayan menjadi petani, juga mengubah citra kota industri yang bergantung pada pasokan bahan pangan dari daerah lain menjadi kota yang dapat produksi sendiri.

"Batam bukan daerah pertanian. Tapi dengan teknologi, bisa meningkatkan produktifitas cabai, ini harus didukung," kata dia.

Usaha tanam cabai di Batam bermula dari Tim pengendali Inflasi Daerah beberapa tahun lalu yang resah pada lonjakan harga cabai merah yang terjadi.

Harga cabai merah di kota industri terus meroket dan menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar.

Maklumlah, saat itu kota kepulauan sangat bergantung pada pasokan cabai dari daerah lain. Sehingga apabila cuaca buruk menghadang yang menyebabkan distribusi komoditas strategis itu terhambat, maka harganya melambung.

Maka, TPID mendorong agar warga menanam cabai di rumah masing-masing, dan mengembangkan sentra pertanian di pulau.

Pada tahun 2020, Kementerian Pertanian mencoba menerapkan teknologi produksi lipat ganda (Proliga) cabai merah di Pulau Setokok dan dinilai berhasil.

Maka tahun 2021, Bank Indonesia melanjutkan program itu dan memfasilitasi warga pulau untuk membudidayakan cabai merah.

Pada panen perdana, Kepala Perwakilan BI Kepri Musni Hardi K Atmaja mengatakan hasil produksi cabai merah petani di Pulau Setokok meningkat 9 persen, dari rata-rata 18 ton per hektare menjadi 20 ton per hektare.

BI berharap dengan keberhasilan di Pulau Setokok, maka kesuksesan yang sama dapat direplikasi di sentra pertanian lain di kota industri, seperti di Nongsa dan lainnya. Karena hasil produksi petani lokal hingga saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota industri.

Jika mengacu neraca bahan makanan 2020, kebutuhan cabai merah mencapai 9.200 ton per tahun, dan saat ini petani lokal baru dapat mencukupi sekitar 1.700 ton per tahun, atau baru 18.6 persen.

Namun, keberhasilan produksi petani lokal sudah mampu mengurangi ketergantungan Batam pada daerah lain.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Batam Mardanis mengatakan penanaman cabai di Pulau Setokok merupakan upaya strategis untuk meningkatkan produksi pangan.

Berkat produksi cabai merah dan cabai hijau lokal, maka harga bahan pokok strategis itu mampu ditekan, hingga kenaikan harganya tidak signifikan.

"Dulu sebelum produksi, harganya tembus Rp40 ribu, sekarang tidak sampai," kata dia.

Keberhasilan petani di pulau penyangga, tidak hanya membuat Batam tidak lagi bergantung pada daerah lain, namun juga berhasil menekan harga di pasar.

Kegigihan penduduk di Pulau Setokok pantas mendapat perhatian dari pemerintah, terutama di saat pandemi seperti saat ini.

Dengan maraknya warga yang beralih profesi menjadi petani cabai, maka tingkat ekonomi diharapkan bisa meningkat. Selain itu, yang pasti tingkat inflasi dari komoditi ini bisa terjaga.

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021