Jakarta (ANTARA) - Kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19 Jabodetabek yang menjerat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara bersama sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Sosial (Kemensos) dan tersangka lainnya menjadi atensi besar publik pada akhir 2020.

Beragam respon langsung mencuat ke permukaan terkait tindakan yang dilakukan oleh politisi PDI-P tersebut. Publik dibuat geram karena perilaku sang menteri yang dinilai tidak berperikemanusiaan. Ia tega melakukan tindak kejahatan korupsi kala Indonesia berada dalam situasi darurat pandemi COVID-19.

Sebelum kasus pencurian uang negara itu terkuak, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah memberikan peringatan kepada tiap-tiap individu terutama para pejabat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan dana bansos COVID-19 agar tidak menyelewengkan anggaran.

Namun, fakta memperlihatkan dengan jelas bagaimana peringatan dari Jenderal Polisi bintang tiga itu tidak diindahkan oleh Juliari serta sejumlah tersangka lainnya yang terlibat langsung dalam kasus korupsi tersebut.

Benar saja, bak petir di siang bolong, masyarakat Tanah Air dikejutkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) oleh komisi antirasuah terkait kasus korupsi di lingkungan Kemensos itu pada 5 Desember 2020. Sayangnya, Juliari P Batubara sebagai orang nomor satu di kementeriannya saat itu sedang berada di luar kota dan malam harinya baru mendatangi Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Tidak hanya dari KPK dan masyarakat, kecaman hukuman mati kepada Juliari P Batubara serta mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang sebelumnya juga tersandung kasus korupsi keluar dari mulut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.

Menurut dia, kedua menteri yang sama-sama mengabdi di Kabinet Indonesia Maju Jilid II tersebut layak dihukum mati atas perbuatan mereka.

Baca juga: F-NasDem: RUU Perampasan Aset lebih bermanfaat daripada hukuman mati

Terkait hukuman mati bagi pelaku korupsi, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo turut memberikan sejumlah pandangan. Baginya, respon atau reaksi yang ditampilkan oleh masyarakat agar para koruptor dihukum mati merupakan wajah kekecewaan mendalam atas upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif.

"Ini yang akhirnya masyarakat berpikir dihukum mati saja karena kalau di televisi pun mereka ketawa-ketawa saja," kata Adnan.

Meskipun ada jalur hukum yang mengatur koruptor dapat dijerat hukuman mati, namun menurut Adnan hal itu tetaplah mesti ditelaah atau dikaji lebih jauh terkait efikasinya yang benar-benar dapat menyelesaikan akar persoalan korupsi yang tampaknya telah menjadi budaya di Bumi Pertiwi.

Jika berkaca ke beberapa negara di dunia, sebenarnya dapat dilihat bagaimana mereka hingga saat ini masih menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Sebut saja China, Korea Utara, Irak, Iran, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar dan Maroko yang ikut serta menjalankannya.

Lebih jauh, sejatinya hukuman mati di berbagai belahan dunia itu harusnya bisa memberikan efek jera bagi koruptor tidak terkecuali Indonesia. Sebab aturan terkait hal itu terpampang nyata dalam peraturan yang ada, hanya saja implementasinya belum terlihat sama sekali.

"Khusus Indonesia meskipun ada undang-undang yang mengatur hukuman mati bagi koruptor, namun sampai saat ini belum ada hukuman mati diterapkan bagi pelaku korupsi," katanya.

Jika melihat negara lain misalnya China, Corruption Perceptions Index (CPI) 2020 mereka jauh lebih baik dari Indonesia. Negara Tirai Bambu tersebut menempati peringkat 78 dari 181 negara dengan skor CPI 42 dari 100 nilai tertinggi. Berbanding terbalik dengan China, CPI Indonesia terus mengalami penurunan dari skor 40 menjadi 37 pada 2020.

Penerapan hukuman mati di China tidak semata-mata hanya karena penegakan hukuman bagi koruptor. Akan tetapi hal itu juga dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas politik internasional China yang merosot akibat praktik korupsi di pemerintahannya.

Bahkan, di negara tersebut hukuman mati menjadi alat untuk meredam konstelasi serta ketegangan antarelite di politbiro yang kemudian menjadikan isu korupsi dan hukuman mati sebagai salah satu alat untuk menjatuhkan elite lain.

Kasus Bo Xilai politikus asal China merupakan satu contoh di antaranya yang kalau dibuka, maka ceritanya layak menjadi sebuah drama. Bo Xilai sendiri tidak dihukum mati melainkan kasusnya dijatuhkan dengan klausul korupsi karena yang bersangkutan dianggap tidak mengikuti pakem politik di kalangan politbiro China.

Apabila merujuk pada peringkat teratas negara yang dapat dikatakan bersih dari praktik korupsi, maka urutan pertama ditempati oleh Denmark dengan skor 88. Kemudian disusul Selandia Baru dengan skor 87 serta Finlandia, Singapura dan Swedia masing-masing 85.

Berbanding terbalik dengan negara-negara tersebut, peringkat terbawah berdasarkan data yang sama ditempati oleh Somalia dengan skor 10, Siria 13, Sudan Selatan 13, Yaman dan Korea Utara masing-masing 14 poin.

Baca juga: ICW: Dorongan hukuman mati koruptor refleksi rasa frustasi masyarakat

Uniknya, negara-negara dengan skor CPI tergolong tinggi dan bersih dari praktik korupsi tersebut malah sama sekali tidak memiliki ataupun menerapkan praktik hukuman mati sebagaimana halnya Indonesia serta China. Dari fakta tersebut, tentunya pemangku kepentingan di Tanah Air bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa hukuman mati bukanlah cara terakhir untuk memutus dan mencabut praktik korupsi hingga ke akarnya.

Di lain sisi, untuk menumpas praktik korupsi harus dilihat dari aspek yang lebih luas. Sebab, korupsi merupakan sebuah penyakit dari ketidakberesan sistem pemerintahan maupun di kalangan privat seseorang.

Selain itu, korupsi akan selalu terjadi jika kesempatan untuk melakukannya terbuka lebar. Terlebih lagi jika tindakan tersebut merupakan kejahatan kalkulasi. Artinya, peluang tertangkap tangan cukup kecil namun peluang menikmati hasil dari kejahatan itu amat besar.

"Yang harus diperbaiki itu adalah sistemnya sehingga gejalanya bisa dikendalikan," kata Adnan.

Hukuman mati meningkat

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial mengatakan vonis hukuman mati di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

Vonis hukuman mati di era pascareformasi dari masa Presiden Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni 1998 sampai 2013 terdapat 197 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di berbagai tingkat pengadilan.

Kemudian, pada periode pertama pemerintah Presiden Jokowi atau rentang waktu 2014 hingga 2019 terdapat 221 vonis hukuman mati. Selanjutnya, kurun waktu 2019 hingga 2021 terhitung sudah ada 115 vonis mati.

Jika membandingkan jumlah vonis hukuman mati di masa kepemimpinan Habibie, SBY serta Jokowi, maka dapat terlihat nyata bahwa vonis hukuman mati jauh lebih banyak muncul pada masa presiden saat ini.

Baca juga: Wamenkumham: Dua menteri tersangka korupsi layak dituntut hukuman mati

Hal tersebut dapat bermakna minimnya komitmen pemerintah untuk melindungi hak hidup masyarakat. Jika dilihat lebih rinci, pada periode kedua Presiden Jokowi vonis hukuman mati itu diberikan kepada 82 orang atas kasus narkotika, pembunuhan 33 kasus dan terorisme satu kasus. Sementara, dari jumlah tersebut kasus korupsi sama sekali tidak ada vonis mati.

Dari 115 vonis hukuman mati itu, Pengadilan Negeri (PN) Medan memvonis paling banyak dari pengadilan lainnya yakni 16 vonis kemudian diikuti PN Bengkalis 13 vonis, PN Palembang sembilan vonis dan PN Batam delapan vonis. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir terdapat setidaknya 109 Warga Negara Indonesia (WNI) dan enam warga negara Malaysia yang divonis mati.

Padahal, secara umum, hak hidup seseorang telah dijamin tegas berdasarkan konstitusi karena merupakan hak paling dasar. Namun, di sisi lain saat ini Indonesia masih memiliki undang-undang yang melegalkan hukuman mati.

"Jadi ini sesuatu yang kontradiktif," kata peneliti Imparsial Amalia Suri.

Jika dilihat pada tataran global, di akhir 2019 terdapat 106 negara secara penuh sudah menghapus hukuman mati dari tatanan hukum pemerintahannya. Sementara itu, masih ada 36 negara yang mempertahankan hukuman mati tetapi tidak melakukan eksekusi selama 10 tahun terakhir.

Atensi global

Pernyataan hukuman mati yang dilontarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej kepada eks Menteri Sosial serta Menteri Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu dikhawatirkan menjadi atensi dunia internasional.

Kekhawatiran tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Ahmad Taufan Damanik atas pernyataan-pernyataan pejabat atau pemangku kepentingan di Tanah Air terkait HAM menjadi atensi dunia internsional.

"Saya khawatir pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM beberapa waktu lalu, apakah ini sekadar peringatan saja atau memang sungguh-sungguh ingin diimplementasikan," kata dia.

Menurut dia, sebagai pemangku kepentingan pejabat publik harus hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang dapat menarik perhatian global. Apalagi, bila pernyataan tersebut menyangkut persoalan hukuman mati.

Sebab, kebijakan pemerintah tidak hanya dilihat dari kemampuan mengatasi pidana tertentu misalnya korupsi dan terorisme, namun dunia internasional juga akan melihat rekam jejak Indonesia terkait perlindungan dan pemenuhan HAM.

Peta jalan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengarah pada penghapusan hukuman mati. Oleh sebab itu, negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati termasuk negara yang melakukan pembenahan misalnya Indonesia selalu diingatkan untuk terus memenuhi HAM yaitu penghapusan hukuman mati.

Secara umum, Indonesia terikat pada Konvensi Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana di dalamnya terdapat pasal yang mengatur hak hidup yang bahkan hal itu dianggap absolut.

Jika dilihat lebih rinci pada pasal 6 ayat 2 dinyatakan bahwa memang terdapat toleransi dengan batasan tertentu pada negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Pertama, hanya diberikan atau diperbolehkan kepada pelanggaran HAM berat jika merujuk pada standar PBB.

Baca juga: ICW nilai pemiskinan koruptor lebih beri efek jera

Dalam pasal tersebut hanya empat bentuk pelanggaran yang bisa dijatuhi hukuman mati yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi dan kejahatan perang. Sementara Indonesia hanya mengadopsi genosida serta kejahatan kemanusiaan yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Oleh sebab itu, jika ada pihak-pihak yang memperdebatkan apakah tindakan korupsi, narkoba dan terorisme masuk pada pelanggaran HAM berat, maka terang saja jawabannya tidak berdasarkan standar PBB. Namun lebih jauh, pemerintah Indonesia memandang tiga kejahatan tersebut tergolong kepada kejahatan luar biasa.

Terakhir, dengan adanya gambaran keberhasilan sejumlah negara maju dalam menekan praktik korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati, sudah sepatutnya Indonesia belajar agar tindakan-tindakan yang merugikan negara dapat diantisipasi sedini mungkin tanpa harus menghilangkan nyawa seseorang yang jelas dijamin dalam konstitusi.

Copyright © ANTARA 2021