Risiko utama yang sedang dihadapi oleh Jiwasraya sendiri adalah risiko asuransi, risiko likuiditas dan risiko reputasi.
Jakarta (ANTARA) - Tim Percepatan Restrukturisasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengatakan kasus gagal bayar pada industri asuransi di Tanah Air disebabkan tidak optimalnya penerapan manajemen risiko dalam sebuah perusahaan.

“Prinsip kepatuhan dan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) penting diterapkan dalam sebuah perusahaan untuk menggolongkan jenis risiko yang akan terjadi ke depan,” kata Koordinator Juru Bicara Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya yang juga Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwaraya, R. Mahelan Prabantarikso dalam sebuah webinar di Jakarta, Selasa.

Menurut Mahelan, terdapat sembilan jenis risiko yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan asuransi, di antaranya risiko reputasi, risiko kepatuhan , risiko strategis, risiko operasional, risiko hukum, risiko pasar, risiko kredit, risiko asuransi sampai pada risiko likuiditas.

“Risiko utama yang sedang dihadapi oleh Jiwasraya sendiri adalah risiko asuransi, risiko likuiditas dan risiko reputasi,” katanya.

Baca juga: Kasus gagal bayar momentum reformasi industri asuransi nasional

Akibat salah kelola dalam penempatan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya, perusahaan ini mengalami tekanan liabilitas (kewajiban perusahaan kepada pemegang polis) yang sampai pada Desember 2020 mencapai Rp54 triliun, sehingga ekuitas negatif Jiwasraya tercatat mencapai Rp38,7 triliun.

Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB). Dengan begitu, kata Mahelan, sudah sepatutnya perusahaan menerapkan manajemen risiko secara efektif.

Menurut Mahelan, cakupan penerapan manajemen risiko yang efektif yakni kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pengendalian dan pemantauan risiko serta sistem informasi manajemen risiko.

Dengan cakupan itu, perusahaan asuransi jiwa secara terukur akan melakukan penempatan investasi dengan maksimal dan penuh kehati-hatian.

“Melalui manajemen risiko ini, perusahaan asuransi jiwa harus tetap memperhatikan return dari aset investasinya dan perlu melakukan penyepadanan antara kewajiban atas produk dengan aset yang dimiliki,” ujarnya.

Baca juga: KSP : Dirut Jiwasraya akan temui nasabah untuk cari solusi

Pelaksanaan manajemen risiko akan lebih kuat apabila perusahaan juga menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Mahelan mengatakan penerapan GCG penting dilaksanakan pada semua aspek bisnis dan jajaran perusahaan. Hal Ini sebagai upaya menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis.

“Melalui GCG, perusahaan harus mempertanggungjawabkan kinerja secara transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar dan terukur serta mematuhi peraturan perundang-undangan dengan melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan,” ungkanya.

Tak hanya GCG, dibutuhkan juga framework risiko dalam tata kelola perusahaan atau Governance Risk Complience (GRC).

Ia menilai perusahaan yang telah mengintegrasikan proses dan teknologi GRC ini akan mendapatkan manfaat dalam meningkatkan kemampuan perusahaan untuk membuat keputusan secara lebih cepat dan tepat.

“Dengan ini, perusahaan juga bisa meningkatkan kemampuan dalam menjalankan proses secara konsisten, serta bisa mengurangi aktivitas yang sama atau duplikasi. Bahkan sampai pada level efisiensi biaya,” katanya.

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021