Secara psikologis anak-anak menjadi berbeda
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 di Tanah Air telah berlangsung selama 13 bulan dan selama itu pula pembelajaran berpindah dari sekolah ke rumah atau yang dikenal dengan pendidikan jarak jauh (PJJ).

PJJ yang diselenggarakan secara mendadak dan tanpa persiapan tersebut menyebabkan terjadinya kegagapan karena guru maupun siswa belum siap dan terbiasa dengan metode tersebut.

Kondisi itu diperparah dengan belum meratanya jaringan internet, ketersediaan kuota, dan ketersediaan gawai. Juga keterbatasan orang tua dalam mendampingi anaknya belajar di rumah.

Pelaksana Tugas Direktur SMA Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud, Purwadi, mengatakan PJJ memiliki dampak pada anak salah satunya adalah meningkatnya angka putus sekolah. Juga ada laporan mengenai anak SMA yang putus sekolah dan memutuskan menikah, karena menganggap tugas sekolah terlalu berat dan berasal dari keluarga miskin.

“Dengan menikah, siswa tersebut menganggap persoalan ekonominya dapat teratasi karena ada suaminya yang menanggung hidup. Laporan lainnya juga terjadi adanya peningkatan pernikahan siswa, terutama di Indonesia bagian timur,” kata Purwadi dalam diskusi yang diselenggarakan Zenius bersama Fortadik, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sejumlah sekolah juga melaporkan ada siswa yang drop out dari sekolah dan terjadi kekerasan domestik. Belum lagi kondisi psikologis siswa yang juga rentan mengalami gangguan akibat kurangnya interaksi sosial dengan sesama.

“Secara psikologis anak-anak menjadi berbeda. Ini perlu disikapi bersama, karena kesehatan mental itu penting,” kata dia.

Purwadi tak menampik PJJ berjalan baik di sejumlah daerah yang memiliki jaringan internet yang baik dan juga siswa yang tidak memiliki kendala dengan gawai. Namun hal itu hanya sebagian kecil saja.

Daerah yang memiliki kendala jaringan dan juga sarana, mengakalinya dengan menerapkan pola guru kunjung. Akan tetapi solusi juga memiliki keterbatasan dan akibatnya lagi-lagi PJJ tidak berlangsung dengan baik.

“Kondisi ini tentu cukup mengkhawatirkan terutama terjadinya penurunan kompetensi siswa,” kata dia lagi.

Bahkan, lanjut dia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemendikbud para orang tua mulai menunda anaknya untuk masuk ke jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Program vaksinasi COVID-19 bagi 5,5 juta guru dan tenaga kependidikan hingga akhir Juni 2021, menjadi harapan baru dilakukan pembelajaran tatap muka (PTM). Saat ini, sejumlah sekolah sudah melakukan PTM secara terbatas. Dengan demikian, dia berharap kompetensi siswa tidak mengalami penurunan.

“Sebenarnya kita agak khawatir untuk peningkatan kompetensi anak-anak kita di tengah pandemi COVID-19. Tidak hanya Indonesia, seluruh dunia juga mengalami hal yang sama. Kompetensi siswa ini sangat penting, terutama dalam konteks global. Apalagi pada 2022, akan dilakukan pengukuran kemampuan siswa melalui Program Penilaian Pelajar Internasional atau PISA.”

Hasil PISA Indonesia pada 2018, membuktikan masih kurang memadainya hasil belajar pendidikan dasar dan menengah. Sebanyak 70 persen siswa Indonesia masih berada dibawah kompetensi minimum untuk kategori membaca, 71 persen siswa berada dibawah kompetensi minimum untuk matematika, dan 60 persen siswa berada dibawah kompetensi minimum untuk sains.Skor PISA stagnan dalam 10 hingga 15 tahun terakhir.

Indonesia meraih skor tinggi dalam perundungan yakni 41 persen siswa Indonesia dilaporkan mengalami perundungan beberapa kali dalam sebulan. Hanya 29 persen siswa Indonesia setuju bahwa kepandaian adalah sesuatu yang bisa berubah banyak.

Purwadi merekomendasikan agar saat PTM terbatas dimulai, maka yang dilakukan pertama kali oleh sekolah adalah asesmen atau penilaian. Untuk mengetahui seberapa tertinggalnya kompetensi siswa selama PJJ dilakukan.
 

Baca juga: Pendidik perlu ubah metode penilaian pada pembelajaran daring

Baca juga: PJJ terlalu lama dinilai picu siswa berhenti sekolah, sebut KPAI

 

Kompetensi

Chief Education Officer Zenius, Sabda PS, mengatakan bahwa terdapat dua kompetensi yakni kompetensi fundamental dan kompetensi spesifik. Kompetensi fundamental adalah kompetensi yang diujikan pada PISA yakni membaca, matematika dan sains. Sementara kompetensi spesifik merupakan kemampuan individu ditengah masyarakat. Kompetensi fundamental merupakan dasar dalam mempelajari kompetensi spesifik.

Pembentukan kompetensi itu tidak hanya dapat dilakukan secara luring (dengan pembelajaran tatap muka) tetapi juga daring. Meskipun, saingat utama saat pembelajaran daring adalah media sosial maupun games.

“Nah, tantangan di situ. Bagaimana caranya bisa dilakukan inovasi agar pembentukan kompetensi itu juga bisa adaptif. Misalnya kita bikin aplikasi yang bisa diakses dimanapun dan membuat siswa mau belajar. Intinya semua ada jalan, tinggal bagaimana kita melakukan transfer pengetahuan,” kata Sabda lagi.

Sabda mengatakan ada empat kemampuan dasar yang penting dimiliki oleh seorang individu yaitu logika, kemampuan matematis dasar, membaca, dan scientific thinking. Disinggung mengenai kurangnya kompetensi siswa di Indonesia, bukanlah disebabkan oleh pandemi COVID-19.

“Pandemi hanya membuat kondisi itu makin parah. Mengapa bisa terjadi? karena selama ini kita fokus pada materi saja dan bukan fokus pada pemahaman dasar materi dan pengembangan pola berpikir kritis,” kata Sabda.

Apa yang menjadi kekhawatiran banyak pihak akibat pandemi COVID-19 dibidang pendidikan yakni ancaman hilangnya kesempatan belajar siswa atau loss learning, lanjut Sabda, merupakan hal yang sudah terjadi sejak dulu. Misalnya naik kelas dengan standar di atas 70 lolos. Akan tetapi ada yang kurang diperhatikan yakni kurangnya penguasaan fundamentalnya seperti tes atau pertanyaan hanya berupa mengingat dan menghafal tanpa menuntut siswa berpikir. Akibatnya akumulasi dari kelas 1,2, 3,4, 5, dan 6 ada yang kurang dari sisi fundamental sehingga begitu tertinggal jauh.

Menurut Sabda, sistem pembelajar harus diubah mengarah pada stimulus agar anak mau berpikir. Sebagai platform pembelajaran daring, Zenius berusaha untuk membuat materi-materi pembelajaran yang dapat menstimulasi kemampuan dasar tersebut.

“Hal ini merupakan wujud nyata upaya kami dalam membentuk individu yang kompetitif atau kami menyebutnya individu yang cerdas, cerah, dan asyik.”

Individu yang cerdas terlatih untuk memiliki pemikiran yang kritis daripada sekadar menghafal. Cerah karena mereka memiliki kemampuan dasar yang membuat mereka lebih percaya diri menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka juga asyik karena memiliki kemampuan sosial dan memiliki motivasi untuk terus belajar atau menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Dalam konteks yang lebih luas, kompetensi individu menentukan masa depan Indonesia. Sebagai anggota dari OECD, Indonesia berpartisipasi dalam tes PISA yang menguji kemampuan dasar siswa SMA. Zenius memiliki komitmen untuk membantu meningkatkan skor PISA Indonesia. Hal itu sejalan dengan agenda pemerintah yang kini menggunakan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk menilai kemampuan dasar siswa dalam hal literasi dan numerasi.

Lebih dari 16 tahun, kata Sabda, Zenius telah mengajarkan ratusan ribu siswa untuk memiliki pola berpikir kritis. Pola berpikir kritis menjadi salah satu modal bagi siswa meraih pendidikan yang lebih tinggi dan berkarir.

Untuk mewujudkan komitmen untuk membentuk lebih banyak individu yang cerdas, cerah, dan asyik, Zenius telah membuka akses secara gratis ke lebih dari 90.000 video dan bank soal untuk seluruh siswa di Indonesia. Zenius juga mengembangkan kecerdasan buatan bernama ZenBot.Fitur itu membantu siswa belajar dengan cara memberikan solusi dari soal-soal sulit dan memberikan rekomendasi materi pembelajaran untuk menguasai soal sulit tersebut. Fitur itu dapat diakses secara gratis lewat aplikasi Zenius atau WhatsApp.

Selain mengembangkan konten untuk siswa, Zenius juga telah meluncurkan sistem manajemen pembelajaran Zenius untuk Guru (ZenRu) yang juga dapat diakses secara gratis. Dengan ZenRu, para guru dapat mengakses bank soal yang terdiri dari soal LOTS dan HOTS yang menstimulasi siswa dalam belajar, serta bekerja sama dengan dinas pendidikan di berbagai provinsi untuk memberikan pelatihan pada guru dalam memanfaatkan platform itu. Tujuannya, agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan lebih efisien dan punya lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan siswa.

Sementara, alumni Zenius, Indah Shafira, mengatakan dirinya belajar melalui Zenius pada 2013.

“Manfaatnya masih saya rasakan sampai saat kuliah di Harvard dan bekerja hari ini di World Bank,” kata Indah.

Melalui metode belajar yang baik, dirinya berhasil membangun kemampuan berpikir kritis dan kemampuan dasar. Hasil belajar itu membantunya untuk memiliki pola pikir yang sistematis, terlebih saat menyusun ide dan menyelesaikan masalah di pekerjaan.

“Saya harap lebih banyak siswa yang bisa merasakan manfaat pola berpikir kritis untuk meraih masa depan yang cerah,” harap Indah.

Baca juga: Pemerhati sebut pembelajaran jarak jauh kurang maksimal

Baca juga: Kemendikbud: PJJ berdampak buruk pada keberlangsungan sekolah siswa

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021