Petani sawit swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah
Jakarta (ANTARA) - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan peserta program peremajaan sawit rakyat (PSR) disyaratkan mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk memastikan prinsip berkelanjutan.

Direktur Penyaluran Dana BPDP-KS, Edi Wibowo di Jakarta, Rabu, mengatakan program penanaman kembali atau replanting mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, yang meliputi tanah, konservasi, lingkungan dan lembaga.

Dikatakannya, untuk mendukung petani swadaya, solusi pemerintah salah satunya melalui program penanaman kembali sawit rakyat besar-besaran yang bertujuan untuk membantu petani swadaya, memperbaharui perkebunan kelapa sawitnya dengan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan berkualitas dan mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal (Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan -LULUCF)

Namun demikian, tambahnya, untuk memperoleh dukungan tersebut petani harus clean and clear terutama mengenai legalitas.

“Petani sawit swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah,” katanya dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 7, bertajuk Meningkatkan Peranan Petani Sawit Rakyat Melalui Subsidi Replanting dan Subsidi Sarana Prasarana.

Peremajaan sawit bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, dimana standar produktivitas untuk program penanaman kembali dikisaran 10 ton tandan buah segar/ha/tahun dengan kepadatan tanaman lebih dari 80 pohon/ha.

Sedangkan Program Pengembangan Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, dimaksudkan untuk peningkatan produksi, produktivitas dan mutu hasil perkebunan kelapa sawit, meliputi bantuan benih pupuk, pestisida, alat paska panen, jalan kebun dan akses ke jalan umum dan atau ke pelabuhan, alat transportasi, alat pertanian, pembentukan infrastruktur pasar, serta verifikasi/penelurusan teknis.

Sementara itu, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyatakan petani masih banyak yang belum memahami program PSR, dampaknya, mereka melakukan peremajaan secara mandiri tanpa melalui program.

Saat ini, lanjutnya, bahkan petani sawit swadaya masih berpencar-pencar dan tidak adanya kelembagaan tani.

“Pendampingan kurang memadai karena SDM dan pendanaan yang minim di tingkat kabupaten/ dinas. Belum ada real data misalnya siapa, dimana, jenis lahan, dan tahun tanam berapa, di level pemerintah. Lantas, beberapa pendamping desa untuk PSR; tidak dibayar, termasuk luas lahan hanya skala kecil sekitar 2 ha, jika diremajakan akan hilang pendapatan petani,” katanya.

Oleh sebab itu, menurut dia, ke depan perlu penambahan dana PSR dari Rp30 juta per hektare menjadi Rp50 juta per hektare untuk menghindari piutang ke bank, kemudian pengadaan dana pra-kondisi PSR untuk petani swadaya murni.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menyatakan untuk mendukung program peremajaan sawit rakyat Gapki telah melakukan pertemuan dengan Menko Perekonomian pada bulan September 2020, guna membantu percepatan pelaksanaan program tersebut.

Selain itu juga melakukan kerjasama dengan asosiasi petani untuk memfasilitasi kelompok tani/koperasi untuk dapat bermitra dengan anggota Gapki. Berkoordinasi dan fasilitasi Surveyor Indonesia untuk mendapatkan mitra kelompok tani/koperasi dengan anggota Gapki di masing-masing cabang/provinsi.

"Melakukan pendataan proses dan progres PSR dari anggota Gapki di masing-masing cabang Gapki. Membentuk Satgas PSR,” tuturnya.

Baca juga: Gapki Sumsel berharap peremajaan sawit rakyat berlanjut
Baca juga: Kementan targetkan peremajaan sawit rakyat tumbuh 180 ribu ha/tahun
Baca juga: Kementerian Pertanian: Peremajaan sawit rakyat mulai meningkat

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021