Jakarta (ANTARA) -
Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) menyebutkan revitalisasi hukum berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mendesak untuk diimplementasikan.
 
Ketua Pokja Hukum Panitia Nasional Kongres IV PA GMNI Bayu Dwi Anggono,di Jakarta, Kamis, mengatakan revitalisasi yang dimaksud adalah memastikan kedudukan Pancasila sebagai cita hukum dipedomani oleh semua pihak mulai dari pembentukan hukum termasuk pelaksanaan dan penegakan hukum.
 
"Dengan revitalisasi ini maka Pancasila akan dijadikan sebagai paradigma dalam berhukum oleh segenap bangsa Indonesia," kata dia.

Baca juga: PA GMNI dukung rencana "reshuffle" Kabinet Indonesia Maju
 
PA GMNI menyampaikan hal itu berkaca dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak selaras dengan tujuan negara ini.
 
Hal itu juga membuat PA GMNI menggelar webinar Nasional II bertajuk “Revitalisasi Pembangunan Hukum Berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.”
 
Bayu Dwi Anggono, menjelaskan sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 sudah semestinya dalam setiap pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berdasarkan pada hukum.
 
“Hukum menjadi sarana untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana juga dicantumkan di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yaitu menuju masyarakat yang berkeadilan sosial,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember tersebut.
 
Dia menjelaskan pembangunan nasional tidak dapat mencapai tujuan bernegara jika tidak disertai adanya suatu politik hukum yang jelas dan terarah. Dalam konteks Indonesia, politik hukum yang jelas dan terarah adalah politik hukum yang bersumber pada Pancasila.

Baca juga: PA GMNI akan soroti masalah krisis nasionalisme pada kongres tahun ini
 
Tanpa adanya politik hukum yang jelas dan terarah maka dipastikan banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
 
“Selama ini masih saja ditemukan keluhan dari warga tentang peraturan perundang-undangan yang dibentuk mengandung muatan diskriminatif dengan tidak mengingat keragaman bangsa Indonesia yang berbinneka tunggal ika,” ucap Bayu Anggono.
 
Banyaknya perkara ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sejak berdiri 2003 jadi bukti nyata bahwa Pancasila belum menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
 
Sampai dengan sekarang MK telah memutus 3.075 perkara. Sebagian terbesar adalah perkara pengujian undang-undang sebanyak 1.392 perkara yaitu sekitar 43 persen dari seluruh total perkara yang sudah diputus.
 
Namun demikian, tidak sepenuhnya putusan permohonan pengujian undang-undang tersebut dikabulkan. MK hanya mengabulkan sekitar 267 permohonan saja, sedangkan yang ditolak ada 498 permohonan.
 
Mengingat kondisi tersebut, Bayu menambahkan, maka gagasan revitalisasi pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mendesak diimplementasikan.

Baca juga: PA GMNI: bangsa saat ini melanjutkan peradaban Indonesia

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021