Pandemi yang terjadi setahun terakhir ini telah mengubah secara radikal konsep pendidikan tradisional
Jakarta (ANTARA) - Direktur Rachbini Institute, Widarto Rachbini mengemukakan Indonesia telah memasuki era baru revolusi pendidikan dalam jaring (daring) yang dipengaruhi oleh pandemi COVID-19.

"Pandemi yang terjadi setahun terakhir ini telah mengubah secara radikal konsep pendidikan tradisional yang mengharuskan peserta didik untuk hadir secara fisik di kelas," katanya dalam webinar bertajuk "Transisi New Normal dan Masa Depan Sistem Kuliah Daring" yang dipantau di Jakarta, Minggu.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan kesiapan masyarakat terhadap penggunaan sistem daring, kata Widarto, penyampaian materi kuliah bisa dilakukan kapan dan di mana saja melalui internet.

Baca juga: Pengamat sosial tekankan revolusi karakter harus lewat pendidikan

Menurut Widarto, pandemi COVID-19 telah mempercepat literasi masyarakat terhadap media pembelajaran jarak jauh, yang lebih dikenal dengan kuliah daring. "Akibat pandemi, tiba-tiba saja semua orang jadi “melek” online. Kita sekarang memasuki era baru Revolusi Pendidikan Dalam Jaringan," katanya.

Rachbini Institute melakukan riset terhadap 1.342 responden mahasiswa untuk mengevaluasi pelaksanaan kuliah daring setahun terakhir ini dan untuk mengetahui bentuk perkuliahan yang diinginkan oleh mahasiswa jika pandemi ini berakhir.

Responden dari jenjang pendidikan D3 dan S3 itu tersebar di Jabodetabek, Jawa Timur, Aceh, Palembang dengan tidak menutup kemungkinan responden berasal dari wilayah lainnya.

Baca juga: Ananda Sukarlan: Indonesia butuh revolusi pendidikan seni

Pengumpulan data dengan survei menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka untuk menangkap aspirasi dan mengeksplorasi lebih jauh pendapat mahasiswa terhadap pelaksanaan kuliah daring.

"Penyebaran dan permintaan pengisian kuesioner melalui media social WhatsApp dan Facebook Mei 2021 dengan bentuk isian di Google Form yang tautannya disingkat menjadi bit.ly/surveydaring2021," katanya.

Dari 1.341 jawaban responden yang valid, kata Widarto, 1.029 mahasiswa atau 76,7 persen menyatakan bahwa kuliah daring yang diikuti selama ini efektif, sisanya 312 mahasiswa atau 23,3 persen menyatakan tidak efektif.

Sebanyak 50 persen responden menginginkan kuliah daring setelah pandemi usai dan 50 persen lainnya kuliah kelas. "Pilihan kuliah daring dan kuliah kelas dengan proporsi lainnya, jumlah pemilihnya relatif berimbang," katanya.

Baca juga: Rektor Unimed: Revolusi Industri 4.0 menuntut perubahan pendidikan

Bentuk perkuliahan yang paling diinginkan oleh 1.025 orang yang menyatakan perkuliahan daring efektif, 50 persen kuliah daring dan 50 persen kuliah kelas.

Bentuk perkuliahan yang diinginkan oleh 312 orang yang menyatakan perkuliahan daring tidak efektif, Hanya 29,5 persen menginginkan tatap muka di kelas, 70,5 persen menginginkan ada kuliah daring dengan proposi berbeda.

Widarto menambahkan kendala utama pelaksanaan kuliah daring adalah jaringan internet yang buruk dan interaksi sosial yang kurang, dengan masing-masing prosentase 38,6 persen dan 37,5 persen.

"Kendala pada urutan berikutnya adalah kuota yang mahal yang dipilih oleh 13,7 persen responden," katanya.

Mahasiswa lama cenderung menginginkan proposi kuliah dalam kelas yang lebih tinggi. Sementara mahasiswa baru cenderung menginginkan proporsi yang seimbang antara kuliah daring dan kuliah kelas. "Perbedaan ini signifikan secara statistik. Bukan terjadi kebetulan karena kesalahan sampling," ujarnya.

Baca juga: Cendekiawan: Pendidikan sebagai kunci membangun Indonesia bermutu

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021