Baghdad (ANTARA News/AFP) - Kekerasan akhir pekan di Irak menewaskan 60 orang, kata sejumlah pejabat, Minggu, hanya beberapa hari menjelang awal bulan suci Ramadan.

Kekerasan itu telah menyulut kekhawatiran mengenai keamanan di Irak, dimana lebih dari 100 orang tewas sepanjang bulan ini, ketika pasukan AS melakukan penarikan besar-besaran.

Irak juga sedang menghadapi kebuntuan politik selama lima bulan setelah pemilihan umum 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas.

Jumlah kematian akibat tiga ledakan di kota pelabuhan Basra, Irak selatan, pada Sabtu malam naik menjadi 43 pada Minggu. Ledakan itu disebabkan oleh bom dan bukan hubungan pendek arus listrik generator seperti yang semula diperkirakan.

"Kami telah menerima 43 mayat, dan 185 orang terluka," kata Dr Riyadh Abdelamir, direktur kesehatan provinsi Basra, dengan menambahkan bahwa wanita dan anak-anak termasuk diantara mereka yang cedera.

Ali al-Maliki, kepala komite keamanan dewan provinsi, mengatakan, kematian orang-orang dalam dua serangan bom mobil dan sebuah ledakan bom pinggir jalan itu merupakan "akibat dari aksi teroris".

Sementara itu, Minggu pagi, seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan mobilnya di sebuah tempat pengisian bahan bakar di Ramadi, sebelah barat Baghdad, dan ibukota provinsi Anbar, menewaskan enam orang, kata beberapa pejabat medis dan keamanan.

Dua wanita dan seorang anak termasuk diantara mereka yang tewas, sementara 29 orang lain cedera.

Juga di Anbar, orang-orang bersenjata bertopeng merampok pemilik usaha valuta asing dan meledakkan mobil kosong mereka ketika polisi melacak para pelaku, menewaskan dua orang, kata beberapa pejabat dan korban perampokan tersebut.

Sabtu, tujuh polisi termasuk diantara delapan orang yang tewas di dekat Baghdad dan di Irak utara, yang mencakup empat orang yang tewas dalam tembak-menembak sengit di daerah Sunni di ibukota Irak tersebut.

Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, lebih dari empat bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.

Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.

Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.

Kekerasan di Irak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, kemudian menurun tajam, dan serangan-serangan terakhir itu menandai terjadinya peningkatan.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Pemilihan umum pada 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Maret.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun ini, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

Dua serangan bom bunuh diri menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010