Republik Rakyat Tiongkok mengadopsi pola pembangunan menyerupai GBHN dalam merancang peta jalan pembangunan untuk menatap RTT 2050.
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) memastikan bahwa kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tidak menyebabkan Presiden kembali menjadi mandataris MPR yang harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR.

"Presiden/Wakil Presiden tetap menjadi mandataris rakyat, yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden juga tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam konstitusi, yakni pada Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," kata Bambang Soesatyo dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Bamsoet mengemukakan hal itu dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Warmadewa, Bali, Senin.

Baca juga: LaNyalla: Peran DPD terkait garis besar haluan negara diperlukan

Menurut Bamsoet, amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 tidak akan mengarah pada hal lain di luar PPHN, seperti penambahan periodisasi masa jabatan presiden/wakil presiden.

Hal itu, menurut dia, mengingat Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur secara tegas mengenai mekanisme usul perubahan konstitusi yang tidak dapat dilakukan secara mendadak.

"Karena hanya akan membahas PPHN, amendemen terbatas konstitusi tidak akan membuka kotak pandora yang menimbulkan hiruk pikuk dan mengganggu stabilitas politik nasional," ujarnya.

Proses amendemen terbatas, kata dia, dimulai diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul.

Usulan tersebut, menurut dia, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR RI.

Dalam kesempatan tersebut, Bamsoet mengapresiasi dukungan civitas academica Universitas Warmadewa Bali agar MPR RI berwenang menyusun dan menetapkan PPHN.

Hal itu, kata dia, melengkapi dukungan serupa yang datang dari Universitas Negeri Udayana Bali, Universitas Ngurah Rai Bali, Forum Rektor Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN).

Baca juga: Ketua F-Partai NasDem MPR RI: Belum ada kebutuhan amendemen UUD 1945

"Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto, memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)," ujarnya.

Sejak era Reformasi, kata Bamsoet, pola pembangunan justru berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden/wakil presiden terpilih, kemudian dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 5—10 tahun.

Hal itu, menurut dia, menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan sehingga tidak heran jika saat ini banyak pihak menggaungkan kembali pentingnya haluan negara.

Politikus Partai Golkar itu mengutarakan bahwa dukungan agar Indonesia kembali memiliki haluan negara juga pernah disampaikan presiden ke-3 RI B.J. Habibie, saat beliau menjadi narasumber diskusi di MPR pada tanggal 22 Agustus 2017.

"Sebelumnya, di akhir Maret 2014, dalam sebuah debat politik di Jakarta, Presiden B.J. Habibie juga menegaskan pentingnya Indonesia menghidupkan kembali haluan negara," katanya.

Baca juga: MPR jelaskan wacana perubahan UUD 1945 hidupkan GBHN

Menurut dia, berbagai negara di dunia memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang, bahkan sejak 1953, Republik Rakyat Tiongkok mengadopsi pola pembangunan menyerupai GBHN dalam merancang peta jalan pembangunan untuk menatap RTT 2050.

"Ironisnya Indonesia justru meninggalkan pola tersebut. Namun, belum telat bagi bangsa Indonesia jika ingin kembali menghidupkannya," kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021