Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya untuk memperbaiki tata niaga gula, baik secara on-farm maupun off-farm
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani mengingatkan pemerintah agar dapat membenahi tata niaga sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan terkait komoditas gula di Indonesia.

"Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya untuk memperbaiki tata niaga gula, baik secara on-farm maupun off-farm," kata Arumdriya Murwani di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, selain revitalisasi mesin dan pabrik gula, kebijakan-kebijakan yang dibuat juga perlu fokus pada pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri.

Ia berpendapat pula bahwa regulasi impor perlu dibuat sesederhana mungkin dan memungkinkan impor dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dalam membaca kebutuhan pasar

Apalagi, masih menurut dia, impor gula terus dikritik karena tidak efektif untuk menurunkan harga gula di Tanah Air. Untuk meningkatkan efektivitasnya, impor gula perlu diikuti adanya pembenahan tata niaga.

"Impor gula tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya alat dalam mengatasi permasalahan gula di Indonesia. Tanpa adanya pembenahan tata niaga gula di dalam negeri, impor hanya akan bertindak sebagai solusi sementara yang efektivitasnya terus dipertanyakan," ucapnya.

Murwani memaparkan, faktor-faktor lain yang juga berkontribusi ke pada rendahnya produksi gula dalam negeri, seperti laju konversi lahan pertanian dan rantai distribusi yang panjang, juga berperan dalam mengurangi efektivitas impor gula sebagai alat untuk stabilisasi harga.

Ia mengungkapkan, data United States Department of Agriculture (USDA) 2020 menunjukkan, Indonesia memproduksi 29,3 juta ton tebu yang digiling menjadi 2,1 juta ton gula untuk konsumsi selama periode Mei 2020 - Mei 2021. Indonesia harus mengimpor sekitar 5,2 juta ton gula untuk memenuhi konsumsi domestik yang mencapai 7,4 juta ton.

Dengan terus bertambahnya jumlah konsumsi gula di Tanah Air akibat dari laju populasi penduduk, lanjutnya, maka kebutuhan gula tidak bisa diimbangi oleh kemampuan petani tebu dan pabrik gula. Salah satu penyebab rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh umur fasilitas produksi gula tebu yang sudah tua.

Murwani juga menyoroti bahwa hingga kini belum tersedianya satu data tebu dan gula yang akurat. Hal ini dinilai penting karena kalau data yang tidak akurat dijadikan dasar pengambilan kebijakan, lanjut Arum, maka kebijakan yang dihasilkan tidak akan mampu merespons permasalahan yang ada.

Sebagaimana diwartakan, Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Thohir menyatakan saat ini perlu untuk segera dibentuk neraca komoditas gula yang tepat guna dalam rangka mengetahui secara persis berapa kebutuhan gula nasional.

"Menyusul terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 yang berdampak pada industri gula di dalam negeri, maka saatnya dibentuk neraca gula untuk mengetahui lebih jauh kebutuhan gula nasional," kata Achmad Hafisz Thohir.

Menurut Hafisz, Peraturan Menteri Perindustrian tersebut perlu disorot lantaran gula impor akan diberi ruang secara masif masuk pasar lokal.

"Membuat neraca gula ini penting sebagai langkah membenahi persoalan yang terjadi dari hulu sampai hilir di sektor gula. Jangan sampai kita seolah-olah membiarkan industri gula tanah air babak belur tak berdaya terhadap gula impor," katanya.

Untuk itu, ujar dia, DPR diserukan agar menggunakan hak dan kewenangannya untuk mengawasi kebijakan pemerintah di sektor komoditas gula.

Baca juga: Neraca komoditas gula perlu segera dibentuk, kata Anggota DPR
Baca juga: Anggota DPR: RNI perlu didorong perkuat revitalisasi pabrik gula
Baca juga: Asosiasi minta tinjau ulang aturan yang dinilai picu kelangkaan gula

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021