Jakarta (ANTARA) - Knowledge Hub Coordinator Kesehatan Reproduksi Indonesia dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. dr. Budi Utomo mengungkapkan ada perbedaan antara "kehamilan terlalu" dan kehamilan tidak diinginkan, serta risikonya pada kematian ibu.

Budi menjelaskan kehamilan digolongkan "terlalu" apabila terjadi di bawah usia 20 tahun (terlalu muda), di atas 35 tahun (terlalu tua), jarak kehamilan dan kelahiran sebelumnya kurang dari 2 tahun (terlalu dekat) dan sudah banyak anak (terlalu banyak).

"Kalau kehamilan tidak diinginkan bisa saja bukan kehamilan terlalu. Tetapi memang ada irisannya. Kehamilan terlalu di Indonesia, angkanya masih 35 persen," kata Budi dalam sebuah webinar kesehatan, Selasa.

Dari dua jenis kehamilan ini, kehamilan tak diinginkan terkait dengan keputusan aborsi atau upaya mengugurkan kandungan untuk mengakhiri kehamilan. Menurut Budi, biasanya saat seorang ibu hamil dan hamilnya tidak diinginkan, dia akan menggunakan segala cara untuk menggugurkan kandungannya.

"Data tahun 2019 menunjukkan, angka aborsi, keguguran masih sekitar 3 juta per tahun. Jumlah kelahiran dalam setahun, kehamilan dan berhasil hidup selisihnya sekitar 3 juta. Aborsi satu refleksi kehamilan tidak diinginkan akibat orang ingin menghentikan kehamilan tetapi hamil karena tidak pakai alat kontrasepsi," tutur Budi.

Baca juga: Pola makan untuk ibu hamil, ini yang boleh dan dilarang

Baca juga: Bolehkah bumil relaksasi dalam sauna?


Lebih lanjut, dia mengatakan, data kejadian aborsi di Indonesia menunjukkan, hampir separuhnya dilakukan pada mereka yang sudah menikah.

Dari sisi risiko pada kesehatan, kehamilan atau kelahiran terlalu berisiko tinggi terhadap kesakitan dan kematian pada ibu, juga gangguan pertumbuhan pada anak yang mereka kandung.

Ini bukan berarti kehamilan tak diinginkan nihil risiko kematian ibu. Di dalam menurunkan angka kematian ibu (AKI) sendiri, mereduksi kehamilan yang tidak diinginkan menjadi salah satu upaya yang perlu dilakukan selain mengurangi angka kehamilan itu sendiri.

Terlambat menyelamatkan

Di sisi lain, berdasarkan perspektif upaya menurunkan AKI, penyebab kematian para ibu juga bisa karena kondisi komplikasi yang terlambat menerima layanan penyelamatan di fasilitas kesehatan tingkat lanjut yaitu rumah sakit.

Makna terlambat di sini ada digolongkan ke dalam tiga tingkatan yakni ibu tidak mencari layanan perawatan atau komplikasi tidak terdeteksi, kemudian masalah transportasi dan rujukan, serta pelayanan di rumah sakit tidak memadai dan kondisi komplikasi yang sudah parah.

Pada tingkat pertama, sebenarnya, bidan memegang peranan penting mendeteksi dini komplikasi dan melakukan efektikvitas rujukan supaya ibu tidak terlambat menerima layanan.

Sementara pada keterlambatan tingkat kedua, yakni terkait masalah transportasi dan rujukan terutama di daerah terpencil yang secara geografis jauh dari rumah sakit. Budi mengatakan, komplikasi maternal seperti perdarahan membutuhkan penanganan cepat atau kurang dari empat jam. Kasus lainnya, preeklampsi misalnya, bisa sampai 24 jam, infeksi bisa 1-2 hari tergantung keparahan.

Lalu keterlambatan tingkat tiga, merujuk pada fasilitas di rumah sakit dan kondisi komplikasi sudah parah. Data tahun 2015 menunjukkan, semakin banyak kematian maternal berada di rumah sakit.

"Merujuk kasus komplikasi ke rumah sakit, mereka yang meninggal bisa jadi karena datang sudah parah atau terlambat, kemungkinan kedua karena pelayanan di rumah sakit tidak tepat waktu atau kualitasnya kurang. Banyak kasus seperti itu. Darah tidak tersedia, dokter tidak di tempat," demikian kata Budi.

Baca juga: Aspirin dapat bantu cegah preeklampsia

Baca juga: Preeklampsia, kondisi berbahaya penyebab tertinggi kematian ibu hamil

Baca juga: Penelitian terbaru: Vaksin COVID-19 mungkin aman untuk ibu hamil

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021